KIBLAT.NET, Jakarta – Anak kesembilan Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Afif Hamka menceritakan bagaimana ayahnya dulu diperlakukan tidak adil oleh pemerintahan orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno.
"Kita dimiskinkan, disengsarakan. Buku ayah dilarang dijual, dilarang terbit," ujar Afif dalam seminar "111 Tahun Buya Hamka, Berbagi Cerita Sang Ayah Bangsa" di Auditorium Arifin Panigoro, Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta Selatan, Ahad (17/02/2019).
Masih lekat dalam ingatan Afif. Pada 27 Januari 1964, bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1383 H, kira-kira pukul 11 siang, Hamka dijemput di rumahnya, ditangkap dan dibawa ke Sukabumi.
"Hari senin datanglah dua mobil berisi petugas pakai pakaian preman, mengangkat dan mengambil ayah ke tahanan," cerita Afif.

Afif bersama kakaknya, Azizah Hamka.
Ia yang datang bersama kakak dan beberapa anggota keluarga Hamka lainnya ini menceritakan, penangkapan itu dilakukan oleh "teman-teman" Soekarno dengan tuduhan subversif, dituduh memimpin rapat-rapat rencana pembunuhan presiden.
"Teman-teman ayah di Masjumi dulu, seperti Natsir, dan lainnya ke Sumatra Barat, melakukan pemberontakan, PRRI. Namun, ayah tidak berangkat ke sana, karena setelah mengisi kuliah di Jakarta, dia terjatuh dan patah kakinya," kenang Afif.
Masjumi, sebut Afif dibubarkan dan membubarkan diri. Atas pembubaran itu, sebagian sahabat Hamka ke Sumatra Barat melakukan pemberontakan, karena mereka tidak setuju konstituante dibubarkan. Markas PRRI di Sumatra Barat, menggunakan rumah paman Afif, kakak dari Hamka, tepat di samping danau Maninjau. Afif menceritakan bahwa ayahnya sudah sempat berfikir untuk bergabung dengan PRRI, namun takdir berkata lain.
"Dia batal gabung ke PRRI. Jika tidak jatuh dan gabung ke sana, mungkin sejarah kami akan lain," jelasnya.
Pemberontakan oleh PRRI terjadi, dan pemerintah pun melakukan pemberantasan. Ketika terjadi pemberantasan itu, sebut Afif, ada seorang keponakan Hamka, bernama Anwar Rasyid yang diculik oleh tentara.
"Keponakan Buya Hamka diculik sama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Dia diculik, sampai saat ini tidak tau dimana jasadnya dikubur dimana, ada yang bilang diikat dan dicemplungkan ke danau Maninjau," ujarnya.
Tak hanya menjadi korban dari pemerintah, keluarga Buya Hamka saat itu pun ada yang bergabung dengan pemerintah, dan menjadi mata-mata dari APRI.

Keluarga besar Hamka yang hadir di acara SPI (17/02/2019).
Afif menjelaskan, ketika PRRI diberantas, Buya Hamka merasa sedang perang saudara. Abdul Mukdin Karim Amrullah, adik kandung Buya Hamka di Bukittinggi menjadi mata mata APRI, mata mata pemerintah.
"Dia tewas ditembak oleh Umi saya. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Bukittinggi," ujar Afif.
Hamka ditangkap pada 27 Januari 1964, bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1383 H, kira-kira pukul 11 siang. Afif saat itu masih SMP, sehingga penangkapan itu sangat berdampak pada kondisi psikologisnya dan kehidupan keluarga.
Meski ditangkap, dan buku-bukunya dilarang diterbitkan, yang mengakibatkan keluarga tidak punya pemasukan, Hamka tetap memandang Soekarno sebagai sahabat karibnya. Afif yang sempat protes saat Hamka diminta mensholatkan jenazah Soekarno diberi penjelasan oleh Hamka bahwa itu hanya masalah politik, sementara persahabatan harus diteruskan.
Buya Hamka dibebaskan dari penjara pada Januari 1966 seiring peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Ia diberi ruang oleh pemerintah orde baru. Oleh Soeharto, Hamka diminta mengisi jadwal tetap ceramah di Radio dan Televisi pemerintah, RRI dan TVRI. Ia juga bebas mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru.
Pada 26 Juli 1975 pemerintah menginisiasi berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Hamka terpilih menjadi ketua MUI secara aklamasi dan dilantik pada 1977. Sejak saat itulah Soeharto mulai meminta Hamka menemani dirinya di setiap agenda peresmian.
"Ketika pemilu pertama (Pemilu 1977) datang utusan Soeharto meminta Buya Hamka datang selalu ke acara peresmian setiap Soeharto ada," tutur Afif.
Tapi karena alasan kesehatan, Hamka tak bisa selalu menemani Soeharto. Melihat kondisi itu, Soeharto menyediakan satu kamar di RSPAD untuk perawatan kesehatan Hamka.
Menurut Afif, Hamka juga aktif memberi nasehat agama kepada keluarga Cendana. Suatu kali, Hamka juga berhasil mendorong Siti Hartinah, istri Soeharto menghadiri acara keagamaan seperti Isra Mi'raj, Maulid Nabi, dan sebagainya.
"Ketika itu, saya ingat betul. Ada Paus Paulus datang ke Indonesia, ke Jakarta. Orang-orang kristen pada sujud di kaki Paus, dan termasuk Ibu negara, Tien Soeharto. Banyak yang mengecam melalui tulisan dan pidato, namun Hamka datang ke Cendana dan menceramahi Tien dan Soeharto," ujar Afif.
Hamka dikenal kritis tapi tetap mengedepankan kehangatan dalam memberi masukan. Saat petisi 50 bergulir, Hamka tak ikut menandatanganinya, dia langsung datang ke Jalan Cendana, rumah Soeharto.
"Kalau mengkritik Soeharto, Buya Hamka datang ke Cendana. Dan diterima kedatangannya oleh Soeharto. Buya Hamka juga pernah menulis surat kepada Soeharto tentang polemik aliran kepercayaan. Dia menjelaskan bahwa aliran kepercayaan itu sesat. Pak Harto tidak marah, enggak. Walaupun dikritik sedemikian rupa," kata Afif.
Reporter: Muhammad Jundii
Editor: Rusydan
Sumber: https://www.kiblat.net/2019/02/18/hamka-dan-penguasa/