Football5star.com, Indonesia – Sesaat usai penendang penalti kelima Uni Emirat Arab kembali menceploskan bola ke gawang Andritany Ardhiyasa, saya tercekat. Saya butuh beberapa detik untuk menguasai emosi. Sepuluh detik berselang, saya melepas kacamata lalu menghela napas panjang. Setelahnya, mengedarkan pandangan ke sekeliling stadion.
Ada gemuruh tepuk tangan, tapi terasa sunyi. Sunyi, tentu, bagi saya sendiri. Tepuk tangan itu meriah, saya tahu. Tapi, terasa sunyi. Itu tepuk tangan untuk menghormati perjuangan pemain. Saya belum pernah melihat Indonesia tampil dengan kekuatan mental seperti itu sebelumnya. Mental di adu penalti itu lain soal lagi. Tapi, mental di 120 menit timnas kita sangat luar biasa.
Tertinggal dua kali, lewat dua hukuman penalti, kamu butuh mental luar biasa untuk bertahan di kondisi itu. Saya ingin mengumpat dengan jumlah tak terhingga untuk kepemimpinan wasit, tapi toh, tak akan mengubah hasil akhir. Saya melihat pemain-pemain timnas Indonesia berkerubung di lapangan. Di tribun selatan, saya lihat pemain-pemain Emirat Arab mencoba berselebrasi di depan suporter tuan rumah. Kembali saya ingin marah, tapi kembali sadar, itu sia-sia.
Laga ini sarat emosi. Tentang penalti kedua Emirat Arab, tentang kepemimpinan wasit Shaun Evans, hingga perilaku menyebalkan kiper Emirat Arab. Saya melonjak kegirangan seperti orang gila ketika Stefano Lilipaly menyamakan skor di akhir babak kedua. Saya lupa saya seorang jurnalis dan bukan seorang suporter kala itu. Itu lonjakan paling spontan dan ekspresif yang pernah saya lakukan seumur saya hidup.
Tapi berpuluh-puluh menit kemudian, saya kembali dipaksa 'turun ke tanah'. Tidak ada lonjakan, tidak ada teriakan puas. Saya tercekat. Melihat tendangan penalti Septian David Maulana yang melambung. Melihat sepakan Saddil Ramdani yang ditangkap kiper lawan. Melihat penendang kelima lawan yang sukses mengakhiri petualangan Indonesia di Asian Games 2018.
Ini bukan diam yang memendam amarah, saya tahu pasti itu. Ini diam yang menyimpan getir setelah pengalaman pahit selama ini. Saya mencoba menghibur diri dengan ikut bertepuk tangan. Katanya, menenggelamkan diri di atmosfer stadion, akan menghiburmu. Ternyata, tidak. Untuk atmosfer bahagia, ya, mungkin. Tapi untuk atmosfer yang penuh kegetiran, tepuk tangan itu sunyi belaka.
Saya tidak suka basa-basi. Kalah ya kalah, menang ya menang. Tapi, saya merasa kita sedekat itu dengan kemenangan. Setelah gol Lilipaly, Indonesia menguasai jalannya laga di perpanjangan waktu. Saya tidak pernah melihat kita menguasai bola sedemikian nyaman dan dominan. Septian David memporak-porandakan zonal marking lawan. Zulfiandi nyaman mengendalikan tempo, sementara Ilham Udin Armaiyn meneror bek kiri lawan yang sudah kelelahan.
Perpanjangan waktu adalah tiga puluh menit terlama saya kemarin malam. Saya pernah melihat timnas kalah di final AFF 2016, pernah melihat timnas kalah di semifinal SEA Games 2017, tapi kekalahan kemarin rasanya janggal. Ada teriakan yang berada di ujung lidah, tapi tidak pernah keluar dari mulut. Ada umpatan yang sudah saya siapkan, tapi enggan untuk menjadi kata terucap.
Sepak bola memang persoalan detail kecil. Andai sepakan kaki kiri Septian David tidak tepat ke arah kiper lawan di babak kedua perpanjangan waktu. Andai saja kita punya penyerang lain di bangku cadangan untuk menggantikan Beto Goncalves. Dan berbagai andai-andai lain yang membuat saya mengingat setiap detail memilukan itu.
Saya tidak kecewa dengan timnas. Ini perlu sekali ditekankan. Luis Milla dan timnas yang bermain di Asian Games 2018 ini sudah sangat matang dan siap. Ini salah satu timnas terbaik yang pernah saya lihat selain timnas di AFF 2010, delapan tahun silam. Saya kecewa dengan segala hal yang seharusnya tidak terjadi. Dua penalti lawan yang seharusnya tidak perlu ada, wasit yang seharusnya lebih teliti, dan lawan yang seharusnya tidak bersikap layaknya bajingan.
Saya ingat dengan baik rasa sunyi dari tepuk tangan suporter di Wibawa Mukti malam kemarin. Tepuk tangan sunyi itu mengantar saya pulang dengan kepala yang tertunduk. Benar-benar tertunduk dan bukan kiasan belaka. Tapi satu hal yang pasti, saya tahu satu hal: kita membutuhkan Luis Milla Aspas. Orang Spanyol itu tahu apa yang ia lakukan. Dia satu-satunya orang waras di lingkup federasi kita yang begitu-begitu saja.