Berita Seputar Teknologi, Kesehatan dan Olah Raga

Pages

Budaya dan Pembangunan

loading…

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

SELAMA ini kinerja pembangunan sering kali diukur dengan melihat indikator fundamental makroekonomi. Pertumbuhan ekonomi sering kali didewakan sebagai parameter keberhasilannya. Dan hingga saat ini hal itu masih bertahan sebagai patron khususnya oleh masyarakat awam.

Kita sama-sama tahu bahwa sebagian besar masyarakat kita masih butuh edukasi untuk membantu memahami bagaimana sebaiknya menyikapi sebuah hasil pembangunan. Untuk itu tulisan ini dibuat sebagai bagian dari edukasi bahwa indikator pembangunan tidak cukup dinilai secara parsial.

Baca Juga:

Selain itu strategi pembangunan yang dapat digunakan juga relatif banyak dan beragam sehingga kita bisa berdiskusi secara praktis dan ilmiah bagaimana sebaiknya menata kebijakan yang lebih empiris dan komprehensif. Jika menggunakan perspektif nasional, pemerintah pusat selalu merilis asumsi makroekonomi sebagai muara dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Adapun asumsi makroekonomi yang saat ini digunakan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga surat perbendaharaan negara (SPN) 3 bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, serta lifting minyak dan gas.

Di luar itu sebetulnya masih ada indikator lainnya seperti indeks pembangunan manusia (IPM), kemiskinan, ketimpangan pendapatan, kinerja pasar keuangan, dan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH). Yang terbaru, beberapa pemerintah daerah juga sudah mulai memasukkan indeks kebahagiaan (happiness index) sebagai parameter keberhasilan.

Nah, fakta yang menarik adalah bahwa dana transfer ke daerah yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya ternyata tidak selalu linier dengan makna keberhasilan. Peningkatan IPM dan penanganan kemiskinan tidak cukup signifikan, malahan jurang ketimpangan menjadi kian lebar bila dibandingkan dengan sebelum era desentralisasi diterapkan.

Sejak 2010 hingga 2017, kenaikan angka IPM cukup lempeng di kisaran 0,56-0,65 basis poin (bps) per tahun. Padahal peningkatan dana perimbangan sendiri sudah sangat signifikan dengan rata-rata 11,51% per tahun sejak 2010 silam. Sementara itu kemampuan untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan juga terlihat menurun selama satu dekade terakhir.

Jika periode 2009-2013 rata-rata jumlah penduduk miskin dapat diturunkan sebanyak 1.282 orang per tahun, pada 2014-2018 jumlahnya malah kian kgecil dengan hanya berkurang sebanyak 576 orang per tahun. Adapun terkait indikator ketimpangan pendapatan yang direfleksikan indeks gini juga kian lebar, terutama dalam kurun waktu 2000-2010. Namun akhir-akhir ini mulai tampak ada perbaikan kendati faktor penyebabnya masih bersifat paradoksal.

Dari rekaman tersebut, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa sebenarnya ada beberapa masalah pembangunan yang lebih mendasar dan belum tertuntaskan. Kita boleh berbangga dengan capaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil di kisaran 5-6% per tahun. Akan tetapi masih banyak indikator yang tercatat cukup keropos dan lambat laun akan menggerogoti kualitas pembangunan kita.

Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1389674/18/budaya-dan-pembangunan-1553441436


close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
KODE DFP 2
KODE DFP 2