Berita Seputar Teknologi, Kesehatan dan Olah Raga

Pages

RUU P-KS Wajib Ditolak karena Berpotensi Langgar Norma Agama

Ilustrasi Tolak RUU P-KS/ foto kammi kaltim kaltara


"Ini berbahaya, nanti ada banyak kejahatan seksual seolah-olah mendapat legitimasi dari RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual)  itu," kata Wakil Sekjen MUI, Ust Zaitun Rasmin, Kamis (7/2).

"Dalam RUU P-KS, yang diatur adalah larangan pemaksaannya (pelacuran, aborsi), mengabaikan pelacuran sebagai penyimpangan perilaku seks-nya. Demikian juga tidak memasukkan perilaku seks menyimpang lainnya," ungkap Prof Euis Sunarti, Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga.

Inilh beritanya.

***

MUI Tolak RUU P-KS

Oleh : Eko P

RUU P-KS dinilai multi tafsir dan tidak memasukkan tentang perilaku seks menyimpang lainnya. Jika diteruskan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) disarankan diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.

Indonesiainside.id, Jakarta — Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). RUU tersebut mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya umat Islam.

"Ini berbahaya, nanti ada banyak kejahatan seksual seolah-olah mendapat legitimasi dari RUU PKS itu," kata Wakil Sekjen MUI, Ust Zaitun Rasmin, Kamis (7/2).

MUI merekomendasikan RUU tersebut diganti dengan RUU Kejahatan Seksual. Sebab, kejahatan seksual itu lebih berbahaya, sementara kekerasan seksual lebih multi-tafsir yang justru berpotensi merusak.

"Rekomendasi MUI dihentikan saja, tapi kalau masih mau dilanjutkan diganti dengan RUU kejahatan seksual, jadi perlindungan terhadap kejahatan seksual," tegasnya.

Senada hal itu Prof Euis Sunarti, Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga, juga mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.

Ketua GiGA (Penggiat Keluarga) Indonesia (Giga Keluarga) ini mengemukakan, ada banyak alasan RUU yang menuai prokontra ini ditolak atau diubah dengan mengganti kata kekerasan menjadi kejahatan.

"Dalam RUU P-KS, yang diatur adalah larangan pemaksaannya (pelacuran, aborsi), mengabaikan pelacuran sebagai penyimpangan perilaku seks-nya. Demikian juga tidak memasukkan perilaku seks menyimpang lainnya," ungkapnya.

Sebelumnya, sebuah petisi online yang digagas oleh Maimon Herawati menolak pengesahan Rancangan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Pasalnya RUU ini seakan-akan melegalkan zina. Ratusan ribu orang telah menandatangani petisi ini.

Sementara itu, Komnas Perempuan selaku penggagas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), ada beberapa poin krusial dalam rancangan beleid tersebut.

Tujuannya, tercipta perubahan paradigma dan masyarakat terbebas dari kekerasan seksual.

"Jadi tujuan utamanya, menciptakan paradigma baru yang menjamin masyarakat bebas dari kekerasan seksual," jelas Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati.

Soal hukum acara, yang meliputi pelaporan hingga persidangan. Komnas Perempuan ingin menciptakan proses hukum yang lebih merangkul korban dan memperhatikan haknya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohanna Yembise turut mendorong agar proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang ada di DPR segera rampung. Hal ini disampaikannya menanggapi kasus prostitusi online yang menyeret nama artis VA.

"Semoga bisa DPR sahkan itu secepatnya ," kata Yohanna.

Menurutnya RUU P-KS ini akan mengatur sejumlah hal. Yakni sanksi bagi pengguna jasa prostitusi online yang saat ini, yang bisa dijerat hanya mucikarinya saja.(EPJ)

https://indonesiainside.id 7/02/2019 | 11:36

***

PERSIS: RUU P-KS Wajib Ditolak Karena Berpotensi Langgar Norma Agama

JAKARTA, (Panjimas.com) – Saat ini banyak pihak yang menolak agar Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) tidak jadi disahkan. Salah satu diantara sekian banyak ormas dan lembaga yang menolak adalah PP Persaudaran Islam (PERSIS).

Melalui Ketua Umum nya PP PERSIS, Ustaz Jeje Zainudin menilai bahwa memang RUU P-KS itu layak ditolak dan tidak usah disahkan rancangan UU yang penuh masalah tersebut.

"Sebuah RUU itu layak untuk diterima dan disahkan, apabila mempunyai sekurangnya tiga landasan utama. Yakni landasan filosofis, sosiologis, dan juga aspek landasan yuridis," kata Ustadz Jeje pada hari Rabu, (13/2).

Masih menurut dirinya bahwa dari tinjauan filosofinya, kalau RUU P-KS itu seharusnya melandaskan kepada falsafah ayat pertama dan kedua dari Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Beradab.

"Secara prinsip bahwa Undang-Undang itu diantaranya juga harus mempunyai fungsi mengawal dan melindungi agama dan keadaban atau moral bangsa," ujarnya saat mengikuti acara diskusi publik "Kontroversi RUU P-KS di ruang rapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Gedung DPR RI.

Menurutnya juga bahwa dalam RUU P-KS  tersirat pengusul (Komnas Perempuan) hanya ingin melindungi masyarakat dari tindakan kekerasan seksual, tetapi tidak ada spirit untuk melindungi moral dan agama.

"Sebaliknya justru RUU PKS itu akan berpotensi melegalkan pelanggaran norma agama dan norma susila jika dilakukan dengan tanpa paksaan alias sukarela," tandasnya.

Oleh sebab itu kata Ustaz yang aktif berdakwah di Jawa Barat itu bahwa draft RUU PKS seperti itu harus ditolak, sampai ada revisi total atas landasan filosofinya. "Kemudian diusulkan RUU baru dengan judul RUU Penghapusan Kejahatan dan Penyimpangan Perilaku Seksual," pungkasnya. [ES]/panjimas.com

***

MUI Sumut Dukung PKS Tolak RUU-PKS

Bila sampai RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) lolos dan diundangkan negara, maka itu adalah pintu masuk bagi semakin maraknya seks bebas dan LGBT yang akan mengancam masa depan generasi muda Indonesia. "Bukan tak mungkin nanti kita seperti negara Barat yang sudah melegalkan LGBT," tandas Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga MUI Sumatera Utara Dra Hj Rukmini,MA./ Beritasumut.comSabtu, 09 Maret 2019 00:30:00

***

Ini Sederet Alasan F-PKS Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Foto: Jazuli Juwaini (dok. F-PKS)

Jakarta – Fraksi PKS DPR RI menolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan alasan masukan perubahan mereka tidak diakomodir. Ini sederet alasan PKS menolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu.

Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini mengatakan mereka sangat berkomitmen memberantas kejahatan seksual. PKS ingin ada perubahan nama RUU menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.

"Kita butuh undang-undang yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham/ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri," tegas Jazuli dalam keterangannya, Kamis (7/2/2019).

Jazuli memerinci sejumlah norma yang mereka usulkan perubahan. Soal perubahan nama RUU, Fraksi PKS DPR memerinci alasannya.

"Istilah 'Kejahatan Seksual' lebih memenuhi kriteria 'darurat kejahatan seksual' yang sedang terjadi di masyarakat, lebih tepat untuk digunakan dibandingkan dengan istilah 'Kekerasan Seksual', sehingga perlu untuk mengganti judul menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual," sebut Jazuli.

Jazuli lantas berbicara soal lingkup tindak pidana kekerasan seksual. Dengan nama RUU Penghapusan Kejahatan Seksual seperti usulan mereka, PKS ingin fokus RUU tidak melebar ke isu-isu di luar kejahatan seksual. Sehingga, lanjut dia, fokus hanya pada tindak kejahatan seksual, yaitu pemerkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual dan inses.

Pembatasan tersebut, lanjut Jazuli, sekaligus memperjelas jenis tindak pidana dalam RUU sehingga tidak membuka tafsir bebas sebagaimana yang dikritik masyarakat luas saat ini. Jazuli memerinci kritik-kritik sejumlah definisi seperti yang tertuang dalam draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual:

a. pelecehan seksual
Didefinisikan pada Pasal 12 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.

"Definisi tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak dan digunakan untuk mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang. (1) Bisa mengkriminalisasi misalnya kritik masyarakat terhadap perilaku menyimpang LGBT. (2) Mengkriminalisasi kritik terhadap gaya berpakaian muda-mudi bahkan seks di luar nikah yang sudah demikian parah datanya. Jangan hal-hal tersebut sampai dikriminalisasi atas nama pelecehan seksual. Padahal sejatinya kritik tersebut justru menjaga moralitas generasi bangsa sesuai nilai-nilai Pancasila dan agama. Bahkan semestinya RUU mengatur dengan tegas larangan perilaku menyimpang seperti LGBT," kata Jazuli.

b. pemaksaan aborsi
Didefinisikan pada Pasal 15 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.

"Definisi ini jangan sampai dipahami bahwa aborsi menjadi boleh selama tidak ada unsur 'memaksa orang lain'. Tingkat aborsi di luar nikah sangat tinggi, antara lain sebagai ekses perilaku seks bebas/seks di luar nikah. Untuk mencegah hal itu maka aturan pelarangan aborsi (kecuali alasan yang sah secara medis) harus diatur terlebih dahulu dalam RUU," kata Jazuli.

c. pemaksaan perkawinan;
Didefinisikan pada Pasal 17 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

"Definisi ini bisa ditafsirkan sepihak terhadap kearifan dalam kehidupan keluarga masyarakat beradat/budaya timur (relasi orang tua dan anak) sehingga memungkinkan seorang anak mengkriminalisasi orang tuanya yang menurut persepsinya 'memaksa' menikah. Padahal bisa jadi permintaan/harapan orang tua itu demi kebaikan anaknya," sebut Jazuli.

d. pemaksaan pelacuran;
Didefinisikan pada Pasal 18 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.

"Definisi tindak pidana harus dilengkapi dengan pengaturan bahwa pelacuran dan/atau perzinahan atas alasan apapun secara prinsip Pancasila dan Agama dilarang di republik ini. Sehingga secara otomatis pemaksaan pelacuran dan/atau perzinahan menjadi tegas terlarang," ucap Jazuli.

e. perbudakan seksual; 
Didefinisikan pada Pasal 19 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.

"Definisi harus diperjelas agar tidak merusak tatanan lembaga perkawinan yang memiliki aturan/norma tersendiri secara agama, terutama dalam hal kewajiban serta adab-adab hubungan seksual suami-istri yang sah," tegas Jazuli./news.detik.com – Gibran Maulana Ibrahim/Kamis 07 Februari 2019

(nahimunkar.org)

(Dibaca 62 kali, 3 untuk hari ini)

Sumber: https://www.nahimunkar.org/ruu-p-ks-wajib-ditolak-karena-berpotensi-langgar-norma-agama/


close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
KODE DFP 2
KODE DFP 2