Bekasi (ANTARA) – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mempelajari model pengelolaan sampah DKI Jakarta untuk menyusun program penanganan sampah yang ditujukan untuk membebaskan wilayah provinsi dari sampah.
“Apabila sampah dikelola dengan baik, bisa menjadi berkah, kalau tidak bisa (mengelola) akan menjadi bencana dan sumber penyakit,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi NTB Najamuddin Amy saat mengunjungi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat, Kamis.
Najamuddin menjelaskan total yang dihasilkan 10 kabupaten dan kota yang ada di NTB mencapai 3.388 ton per hari dan dari jumlah itu sebanyak 631 ton yang sampai ke 10 tempat pembuangan akhir (TPA) dan baru 51 ton yang didaur ulang. Sekitar 80 persen atau 2.695 ton sampah belum terkelola.
Kabupaten Lombok Timur tercatat sebagai penghasil sampah terbesar dengan produksi 801 ton sampah per hari. Dari keseluruhan sampah itu, baru 15 ton saja yang masuk TPA, sementara 786 ton atau 98 persen lainnya tidak terkelola.
Lombok Tengah berada di urutan kedua dengan produksi sampah 645 ton per hari dengan rincian sekitar 12 persen sampah masuk TPA dan 97 persen tidak terkelola.
Sementara ibu kota NTB, Kota Mataram, menghasilkan 314 ton sampah per hari, 273 ton di antaranya masuk ke TPA dan 15 ton didaur ulang. Hanya 15 ton sampah atau lima persen yang belum dikelola dengan baik.
“Yang tidak sampai ke TPA menjadi sumber penyakit karena beredar di tengah kita,” jelas Najamuddin.
Najamuddin mengatakan pengelolaan sampah NTB belum optimal karena sumber daya dan sarana pendukung, termasuk pengangkut sampah dari TPS menuju TPA, belum memadai.
“Mengenai jumlah TPA, sejatinya masih cukup,” ujarnya.
Menurut data pemerintah, 10 kabupaten dan kota di NTB semuanya sudah memiliki TPA.
Ada TPA Kebon Kongok seluas 8,41 hektare untuk Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, TPA Pengengat seluar 10 hektare di Lombok Tengah, TPA Ijo Balit dengan luas delapan hektare di Lombok Timur, TPA Jugil seluas delapan hektare di Lombok Utara dan TPA Oi Mbo seluas tujuh hektare di Kota Bima.
Selain itu ada TPA Waduwani di Kabupaten Bima dengan luas tujuh hektare, TPA Lune di Dompu seluas sembilan hektare, dan TPA Batu Putih di Sumbawa Barat seluas lima hektare. Sementara Kabupaten Sumbawa memiliki dua TPA, yakni TPA Raberas seluas enam hektare dan TPA Lekong seluas sembilan hektare.
Najamuddin mengatakan meski produksi sampahnya belum sebanyak wilayah Ibu Kota, NTB bisa mengambil pelajaran dari Jakarta dalam mengelola sampah dalam jumlah besar dengan memanfaatkan teknologi.
“Ini momentum bagi NTB, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, belum terlambat untuk NTB karena sampah kita belum sebesar DKI Jakarta,” katanya.
Pengelolaan TPST
Kepala Satuan Pelaksana Energi Terbarukan, Komposting, dan 3 R, serta Pemrosesan Akhir Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rizky Febriyanto mengatakan TPST Bantargebang sudah ada sejak 1989, hasil investasi perusahaan swasta dengan nilai investasi sekira Rp 700 miliar untuk pengelolaan sampah secara keseluruhan. Setelah sempat gonta-ganti kepemilikan oleh swasta dan pemerintah provinsi, pada 2016 tempat pengelolaan sampah itu kembali ke tangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Rizky menjelaskan bahwa luas total TPST Bantargebang mencapai 110,3 hektare, dan dari luasan tersebut 81,91 persen difungsikan aktif sebagai tempat pembuangan sampah yang terbagi menjadi lima zona lahan urug sanitar, sementara 19,09 persen sisanya untuk sarana lainnya seperti akses masuk, jalan ke kantor, dan instalasi pengolahan lindi.
TPST Bantargebang, menurut dia, meliputi fasilitas pengolahan sampah, penimbangan sampah, komposting, pembangkit listrik tenaga sampah, instalasi pengolahan air sampah, dan pencucian kendaraan angkutan sampah.
“Sampah yang diproduksi warga Jakarta yang dibawa ke TPST Bantargebang saat ini sekitar tujuh ribu sampai delapan ribu ton sampah per hari,” ujar Rizky.
Dalam pengelolaan sampah, kata Rizky, TPST Bantargebang membatasi ketinggian timbunan sampah tidak lebih dari 40 meter guna mengantisipasi terjadinya longsor.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkirakan kandungan sampah di Bantargebang sebanyak 39 juta ton dengan gunungan tertinggi mencapai 40 meter.
Kapasitas TPST Bantargebang diperkirakan 49 juta ton. Dengan sisa kapasitas 10 juta ton lagi, tampungan sampah TPST Bantargebang diprediksi mencapai puncak pada 2021.
“Daya tampung Bantargebang akan maksimal pada 2021, tiga tahun lagi tidak mampu tampung lagi sampah warga Jakarta,” ucapnya.
Guna mengantisipasi kondisi itu, Provinsi DKI sudah akan membangun fasilitas pengolahan sampah di dalam kota (Intermediate Treatment Facility/ITF) di sejumlah wilayah di Jakarta, salah satunya di Sunter, Jakarta Utara.
Rizky menyampaikan fasilitas untuk mengolah sampah menjadi listrik tersebut ditargetkan rampung pada 2021. Nantinya, ITF di Sunter diproyeksikan mampu mengolah sampah 2.200 ton per hari.
“Dengan adanya fasilitas pengolahan sampah di dalam kota, diharapkan sampah yang dikirim ke Bantargebang tidak lagi tujuh ribu sampai delapan ribu ton per hari,” kata Rizky.
Rizky menambahkan TPST Bantargebang juga memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang merupakan proyek percontohan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Rizky menyampaikan sementara PLTSa baru mampu mengolah 100 ton sampah per hari.
“Ini jadi model bagi provinsi lain untuk membangun, diinisiasi BPPT. Listrik kita pakai sendiri karena bukan untuk konsumsi,” katanya.
Baca juga:
KLHK rancang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen
Sidoarjo ingin tiap desa punya tempat pengelolaan sampah terpadu
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Sumber: https://www.antaranews.com/berita/844928/ntb-pelajari-model-pengelolaan-sampah-dki-jakarta