Kita buat program mengubah letak mebel di rumah, pintu utama dibuka keluar, lampu kristal dan barang-barang pecah belah dipindahkan
Jakarta (ANTARA) – Perempuan sering kali dianalogikan sebagai makhluk yang lemah baik dari segi fisik maupun lainnya dibandingkan dengan laki-laki. Terlebih lagi dalam kondisi tidak normal, seperti pada saat bencana misalnya.
Namun kenyataannya, perempuan sebenarnya lebih kuat dari apa yang terlihat. Mereka bisa bertahan di tengah keterbatasan di pengungsian.
Perempuan juga makhluk yang kuat. Banyak cerita perempuan yang menjadi korban dalam bencana karena melindungi anaknya.
Sebenarnya mereka bisa saja menyelamatkan diri ketika terjadi bencana, tapi naluri perempuan sebagai ibu untuk melindungi anak dan keluarganya tanpa memikirkan keselamatan diri.
Seperti kisah penemuan jasad seorang ibu yang memeluk ketiga anaknya saat terjadi gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.
Banyak kisah serupa saat kejadian bencana, dimana ibu mempertaruhkan nyawa untuk melindungi anak-anaknya meski akhirnya ia pun tidak bisa menyelamatkan diri.
“Sebenarnya perempuan cukup tangguh dalam menghadapi bencana jika sendiri sebagai individu, tanpa tanggungan seperti anak dan keluarga,” kata Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Wisnu Widjaya.
Namun, ia mengatakan, insting perempuan untuk melindungi keluarga dan anak-anaknya seringkali membuat mereka mengabaikan keselamatan diri sendiri.
Karena itulah BNPB terus berupaya membangun kesiapsiagaan perempuan terhadap bencana karena perempuan merupakan ujung tombak dalam keluarga.
Baca juga: Target Kartini terlampaui
“Kartini” Keluarga
Dalam setiap kejadian bencana, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan, karenanya para perempuan dan ibu harus meningkatkan pengetahuan untuk menghadapi bencana bagi diri sendiri, dan keluarganya serta lingkungannya.
Sebanyak 34,9 persen orang selamat saat kejadian bencana karena mampu menyelamatkan diri sendiri menurut hasil survei yang dilakukan di Jepang.
Hasil survei itu juga menunjukkan bahwa 31,9 persen korban bencana selamat dengan pertolongan keluarga; 28,1 persen mampu bertahan dan selamat dari bencana karena pertolongan dari tetangga; dan hanya lima persen yang diselamatkan oleh regu penyelamat.
“Karena itu tidak usah tergantung kepada tim penolong saat terjadi bencana, tapi ibu-ibu bisa menyelamatkan diri sendiri dan keluarga,” kata Wisnu.
Peningkatan pemahaman perempuan terhadap risiko bencana dan upaya kesiapsiagaannya itulah yang menjadi perhatian Yayasan Keluarga Peduli Bencana.
Ketua Yayasan Keluarga Peduli Bencana Ekasari Widyati menggandeng ibu-ibu arisan dan pengajian untuk diajak tanggap bencana dan meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana.
“Dua tahun belakangan ini saya mengajak ibu-ibu arisan dan ibu-ibu di pengajian di lingkungan saya untuk punya kesadaran bahwa kaum perempuan rentan terhadap bencana,” kata Ekasari yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat.
Menurut dia, pentingnya meningkatkan peran ibu untuk kesiapsiagaan bencana karena ibu adalah pendidik utama dan pertama di rumah. Ibu yang menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, mengajarkan mulai dari hal kecil hingga kemampuan anak untuk bertahan hidup dalam setiap kondisi.
Ia juga menekankan pentingnya para ibu memiliki pemahaman dan kesadaran tentang ancaman bencana agar saat terjadi bencana tidak perlu menunggu pertolongan untuk menyelamatkan diri sendiri dan keluarga.
Peningkatan kesiapsiagaan bencana bisa dimulai lewat cara-cara sederhana di rumah seperti mengubah letak mebel di rumah agar tidak membahayakan saat misalnya terjadi gempa.
“Kita buat program mengubah letak mebel di rumah, pintu utama dibuka keluar, lampu kristal dan barang-barang pecah belah dipindahkan agar jangan sampai jatuh menimpa saat gempa, kemana kita harus lari, hal-hal kecil kita lakukan dengan memindahkan barang-barang di rumah,” katanya.
Tentunya ibu-ibu yang saban hari di rumah dan terbiasa melakukan kegiatan domestik rumah tangga lebih mengenal dan memahami kondisi rumahnya dengan baik.
Dari hal-hal kecil itulah, ibu menjadi Kartini yang menerangi keluarganya, memberikan pemahaman kepada keluarga tentang pentingnya kesiapsiagaan bencana.
Mengingat bahwa secara umum wilayah Indonesia termasuk kawasan rawan bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami, dan gunung meletus.
Baca juga: Tiga film yang mengangkat tema Kartini
Kesiapsiagaan Bencana
BNPB mencatat sepanjang Januari hingga Maret 2019 telah terjadi 1.107 kejadian bencana alam di seluruh wilayah Indonesia. Bencana tersebut berupa gempa bumi, banjir, longsor, angin puting beliung, gelombang tinggi dan lainnya.
Dampak kejadian bencana tersebut sebanyak 279 orang meninggal dunia, 96 orang hilang, 1.340 orang luka-luka, 850.772 orang mengungsi dan terdampak.
Maka kunci selamat dari bencana adalah kesiapsiagaan individu dan upaya sederhana untuk menyelamatkan diri dari bencana dimulai dari rumah, dengan memahami rumah sendiri dengan baik.
“Kalau panik ke mana harus menyelamatkan diri, ke mana harus keluar dan di mana letak barang-barang yang berbahaya harus diketahui. Yang paling penting adalah membangun insting untuk selamat,” tambah Ekasari.
Insting untuk selamat tentunya milik semua orang, tapi ibu yang notabene perempuan lebih mengutamakan keselamatan anak-anaknya.
Kini bukan saatnya lagi perempuan menjadi makhluk lemah, tapi dengan semangat kesetaraan yang digaungkan RA Kartini yang telah bersusah payah mempelopori kebangkitan perempuan pribumi lebih dari satu abad silam, sudah saatnya perempuan untuk bangkit menjadi pelopor kesiapsiagaan bencana.
Maka jadilah Kartini yang menjadi “penerangan” bagi keluarga dengan memahami risiko bencana dan meningkatkan kesiapsiagaan untuk keselamatan bersama.
Baca juga: BNPB: solidaritas antardaerah terkait bencana semakin meningkat
Baca juga: BNPB: 1.107 kejadian bencana terjadi sepanjang Januari-Maret 2019
Oleh Desi Purnamawati
Editor: Dewanti Lestari
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Sumber: https://www.antaranews.com/berita/838408/perempuan-guru-pertama-untuk-kesiapsiagaan-bencana