Menikmati Ramadhan di Masjidil Haram itu luar biasa.
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
Ruangan terasa remang. Cahaya lampu belum sepenuhnya dinyalakan. Atau mungkin memang dibuat sedikit redup?
Saya edarkan pandangan. Suasana ini mengingatkan pada acara perkemahan zaman SD. Sekalipun siang berada di tenda, tapi kalau tidur malam di ruang kelas yang digelari karpet. Di sudut-sudut terlihat buntelan-buntelan besar yang digunakan sebagai bantal.
Seorang perempuan kulit hitam terlihat menggeliat. Ia bangun dari tidur dan mencari kerudungnya yang terlepas. Tak lama, ia beranjak meninggalkan "kaplingannya" sambil membawa tas kecil. Buntelan besarnya ditinggal begitu saja.
Saya tersenyum. Pemandangan seperti ini belum pernah saya lihat di Tanah Suci sebelumnya. Banyak perempuan di dalam mushala Annisa (area shalat untuk jamaah perempuan) yang bergeletakan. Tidur berbantal aneka rupa barang.
Sengaja saya berangkat ke masjid pukul 08.30, supaya masih leluasa memilih tempat. Pemandangan yang baru saya lihat itu, lama-lama jadi biasa. Dan saya menikmatinya.
Selesai shalat Dhuha delapan rekaat, lampu mulai nyala terang semua. Perempuan-perempuan yang tadinya tidur, sontak terbangun dan membereskan barang-barangnya.
Shaf shalat kian lama kian padat. Sampai tak ada tempat yang tersisa sama sekali. Satu dua perempuan Asia Selatan menyerobot tempat sujud jamaah lain. Pemandangan yang biasa terjadi.
Ada tips bagi yang akan berangkat umrah Ramadhan. Sebenarnya kalau shaf shalat terlihat penuh, tak perlu keluar atau berputar-putar mencari tempat lainnya.
Berdiri saja di pinggir lorong yang digunakan sebagai jalan. Asal berdiri, tidak menggelar sajadah, dan tidak mengganggu arus manusia, tidak akan "diusir" askar.
Begitu adzan berkumandang, segera ambil posisi dan gelar sajadah. Kalau sudah adzan, tidak akan disuruh pindah lagi.
Kepadatan di sepuluh hari terakhir Ramadhan memang luar biasa. Rasanya mirip sewaktu saya haji tahun 2006, yang kebetulan bertepatan dengan haji akbar. Dimana jumlah jamaah jauh lebih banyak ketimbang haji yang wuqufnya tidak bertepatan dengan hari Jumat.
Makin sore, makin padat. Setelah Ashar, jamaah sudah tidak bisa lagi masuk ke dalam area masjid. Puncak kemeriahan saat Adzan Maghrib menjelang.
Usai shalat Maghrib sebagian jamaah memilih kembali ke hotel untuk berbuka puasa. Sebagian lagi tetap bertahan di dalam masjid, hingga adzan Isya berkumandang.
Barulah selepas Isya' mereka buka puasa dengan makanan berat di hotel atau di restoran dan foodcourt yang bertebaran di mall-mall di sekitar masjid.
Ramadhan di tanah suci sangat meriah laiknya sebuah festival besar. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang.
Sepuluh hari terakhir masjid sangat padat dengan orang i’tikaf. Ribuan orang ini tidak keluar masjid sama sekali; makan, mandi, tidur, semua dilakukan di lingkungan masjid.
Pemerintah Saudi sangat memerhatikan para tamu Allah ini. Mereka difasilitasi dengan tersedianya sahur dan ifthar gratis, bantal, kursi untuk sandaran duduk, selimut, dan berbagai perlengkapan lainnya.
Singkat kata, silakan datang para tamu Allah, beribadahlah semaksimal mungkin, kebutuhan selama di dalam masjid pasti terjamin.
Sekitar pukul 21.00 shalat Tarawih 20 rekaat tanpa Witir dimulai. Imam-imam terbaik semua diturunkan untuk bertugas bergantian sepanjang Ramadhan.
Saat Tarawih, imam membaca 1 juz surat dalam Al-qur’an secara urut setiap harinya,
Sebagai orang Indonesia, saya tidak terbiasa shalat sambil memegang dan membaca mushaf Alqur’an mengikuti bacaan imam.
Tapi sebelum berangkat, sahabat-sahabat saya yang sudah berpengalaman umrah Ramadhan menyarankannya. Untuk menyiasati kantuk, katanya.
MasyaAllah….
Ternyata betul, shalat Tarawih sambil membaca mushaf Alqur'an itu nikmat sekali. Karena sekaligus bisa tahsin: membetulkan cara membaca Alqur'an langsung dari para imam terbaik di dunia.
Bacaan para imam ini luar biasa indahnya. Kalau kemudian kantuk lenyap, itu hanya bonus saja. Shalat 20 rekaat selama lebih dari dua jam tak akan terasa sama sekali.
Usai Tarawih, kemeriahan sangat terasa di pelataran masjid. Orang-orang duduk-duduk sambil menikmati malam. Sebagian ada yang jalan-jalan pusat perbelanjaan.
Sebagian tetap berdiam di dalam masjid mendaras Alqur'an. Sebagian kembali ke kamar hotel untuk istirahat sejenak sebelum waktunya shalat Qiyamul Lail.
Shalat Qiyamul Lail dimulai pukul 01.00-03.00 dini hari sebanyak 10 rekaat dan ditutup Witir 3 rekaat. Meski bilangan rekaat Qiyamul Lail lebih sedikit, namun durasi shalat sama panjangnya, yakni sekitar 2 jam.
Sewaktu pertama kali mengikutinya, saya seperti mendapat kejutan yang menyenangkan. Karena tidak menyangka shalat akan berlangsung selama itu.
Sebagai gambaran saat ruku’, saya membaca doa ruku’ sampai 7 kali tapi imam belum juga memberi tanda akan segera i’tidal
Di rekaat terakhir Witir, setelah ruku’, imam akan membacakan doa qunut. Saya tak akan pernah melupakannya.
Suasananya sangat dramatis. Semua orang menangis. Meratap. Dari yang terisak, sesenggukan, sampai yang meraung. Entah dosa seperti apa yang disesalinya, hingga tangisannya terdengar begitu menyayat hati.
Semua menengadahkan tangan mohon ampun karena banyaknya dosa. Ah, rasanya saya belum pernah merasakan takutnya api neraka seperti saat itu.
Suara imam yang sesekali tersendat menahan tangis. Atau bergetar kala melafalkan doa tertentu, membuat jamaah kian khusuk dalam penyesalan-penyesalan panjang.
Setelah Qiyamul Lail, orang berbondong-bondong makan sahur. Selama ini saya termasuk orang yang “ribet” dengan makanan. Apalagi untuk sahur dan ifthar. Sebelum dokter mengharuskan berpantang makan ini-itu, saya selalu memilih makanan sesuai selera.
Namun di sini, MasyaAllah, makanan apa pun yang tersedia di restoran hotel saya makan dengan lahap. Saya sempat agak khawatir akan mengalami konstipasi (sembelit) karena pilihan lauk yang kurang serat. Apalagi dalam keadaan puasa, dimana asupan cairan tubuh sangat berkurang.
Alhamdulillah, ternyata tidak.
Kalau di Jakarta saya hanya bisa makan buah yang sangat masak, karena lambung saya yang bermasalah dengan asam. Di sini semua buah saya makan, termasuk jeruk yang manis segar. Padahal sudah lebih dari 20 tahun saya menghindari makan buah jeruk di bulan Ramadhan.
Selesai sahur, jamaah berbondong-bondong kembali menyesaki masjid untuk melaksanakan shalat Subuh dan menunggu hingga waktu syuruq tiba.
Lalu kembali lagi ke hotel untuk istirahat sejenak, sebelum balik lagi ke masjid untuk shalat Dhuha. Dan daur hidup pun kembali berulang.
Saya sangat menikmati daur hidup yang terbalik selama Ramadhan di Tanah Suci. Semua orang berlomba-lomba menghidupkan malam dengan berdiam di dalam masjid, shalat, tadarus, berdzikir.
Lelah? Hampir tak terasa sama sekali. Karena ritual ibadah ini tak sekadar butuh ketahanan fisik, namun yang terpenting adalah keikhlasan.
Ini sekaligus bisa menjawab pertanyaan mengapa banyak anak kecil hingga orang-orang sepuh yang sanggup bertahan. Dengan aktivitas fisik yang menguras energi, sekaligus jungkir balik waktunya. Siang jadi malam, malam jadi siang.
Dalam kondisi ikhlas, tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon ” baik” yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas.
Yang juga terasa sangat kontras dengan Ramadhan di Tanah Air adalah keramaian di mall. Di Indonesia, sudah jamak menjelang Lebaran pusat-pusat perbelanjaan diserbu pembeli, hingga tak jarang mengakibatkan kemacetan di mana-mana.
Namun ini tidak terjadi di Tanah Suci. Kalau di musim haji atau bulan-bulan lainnya, lepas waktu shalat, mall selalu penuh dengan orang yang berbelanja, di bulan suci, ini tidak terjadi.
Mall yang biasanya buka setelah shalat subuh, dan orang pun sudah sibuk belanja sepagi itu. Di bulan Ramadhan, toko-toko di dalam mall rata-rata baru buka selepas shalat Dzuhur. Kalau pun ada satu-dua yang buka lebih pagi, tidak nampak kerumuman pembeli.
Di luar bulan Ramadhan, selain mall yang juga ramai adalah pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sekitar pagar masjid, setelah bubaran shalat.
Mereka biasanya perempuan berkulit hitam, membawa troley yang ditumpangi kardus besar. Nantinya mereka akan menggelar kain selebar sprei dan menghamburkan dagangan di atasnya.
Dagangannya macam- macam, mulai baju, sepatu, kerudung, heina, sampai mainan anak-anak. Bahkan sekadar menjual kulit gandum/gabah untuk pakan burung merpati yang hidup bebas di sekitar masjid.
Di bulan Ramadhan, ini tidak terjadi. Awalnya saya pikir karena cuaca yang panas, makanya sepi. Mungkin para pedagang itu akan menggelar dagangannya selepas Maghrib atau Isya.
Tapi ternyata dugaan saya salah, hanya satu-dua pedagang yang terlihat setelah bubaran waktu shalat. Pembelinya tak terlalu ramai, itu pun kenyakan orang Indonesia!
Sebelum berangkat saya sempat dag-dig-dug. Ramadhan ini kebetulan jatuh di musim panas. Dari prakiraan cuaca yang saya baca, suhu di Mekah-Madinah mencapai 53 °C. Sebagai perbandingan, di Jakarta saat cuaca terasa sangat terik, suhunya paling banter 33 °C.
Saya bayangkan dalam keadaan berpuasa, pastilah berat sekali. Tapi, MasyaAllah, ternyata kekhawatiran saya tidak terjadi sama sekali.
Karena semua aktivitas manusia terpusat di dalam masjid. Kalau pun harus pulang ke hotel, itu hanya untuk sahur, ifthar dan mandi.
Di dalam masjid suasananya sangat sejuk. Pendingin udara dengan sirkulasi terbaik di dunia, membuat hawa panas di luar tidak terasa sama sekali. Langit-langit yang sangat tinggi membuat tidak terasa pengap.
Di luar masjid, kipas angin dengan uap air, seperti yang sering terlihat di Dufan, bekerja optimal. Pemerintah Saudi terlihat bekerja keras untuk menerima para tamu Allah ini.
Menikmati jamuan Ramadhan lagi di Tanah Suci adalah sebait doa yang terus saya selipkan di antara doa-doa panjang yang dimunajadkan usai shalat. Semoga suatu saat nanti Allah izinkan kembali.
Biidznillah…
Follow me on IG @uttiek.herlambang
Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti
Sumber: https://republika.co.id/berita/ramadhan/puasa-journey/pqx8vz385/menikmati-ramadhan-di-masjidil-haram