Puasa Ramadhan hendaknya menjadi perisai bagi orang beriman
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Taufik Damas
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu (ayyam ma’duudaat)” (QS al-Baqarah [2]: 183-184).
Kalimat ayyaam ma’duudaat memiliki arti ‘beberapa hari.’ Kemudian, diperjelas oleh hadis Nabi SAW bahwa kewajiban puasa berlaku sebulan penuh.
Salah satunya riwayat Aisyah, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah melakukan shalat malam sampai pagi dan puasa sebulan penuh secara berturut-turut kecuali di bulan Ramadhan” (HR Muslim).
Seberapa lama kita wajib berpuasa, bukanlah topik yang diperdebatkan. Umat lebih gemar membincangkan seberapa banyak pahala yang didapat. ”Barangsiapa melaksanakan puasa Ramadhan karena iman dan harapan (pada Allah), maka dosa-dosanya yang lalu pasti diampuni” (HR Bukhari)
Bagaimana membuktikan bahwa puasa kita diterima Allah SWT dan dosa-dosa diampuni? Sulit menjawabnya. Meyakini sesuatu tentu tidak dilarang. Namun, yang perlu diperhatikan, bagaimana supaya keyakinan itu tidak menyeret pada kesombongan dan ritual-ritual kosong, yaitu ritual ibadah yang tidak bermakna bagi diri dan lingkungan.
Rasulullah SAW memberikan semacam acuan batin bagi pelaku puasa, untuk menjadikannya fungsional, berdampak positif bagi pribadi dan lingkungan. “Puasa adalah perisai. Jika kamu puasa, jangan berkata keji dan jangan bertindak bodoh. Jika seseorang menantangmu atau mencacimu, ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa'”(HR Malik).
Puasa adalah perisai yang melindungi pelakunya dari ucapan dan perbuatan jahat. Orang yang berpuasa semestinya berperilaku baik dan toleran.
Hadis ini mengajarkan, puasa hendaknya mencegah perilaku menyimpang atau tindak kejahatan yang merugikan orang lain. Islam tak mengajarkan kekerasan terhadap mereka yang tidak menjalankan kewajiban agama. Ketika kita berpuasa, tak berarti diperbolehkan mengolok-olok mereka yang tidak berpuasa atau menuduh tidak menghormati Ramadhan.
Alangkah bijak sikap orang yang beriman jika mengamalkan kebaikan-kebaikan sosial seperti yang diajarkan Rasulullah SAW. Bukankah puasa diwajibkan agar pelakunya menjadi sosok yang bertakwa? Takwa adalah simbol kebajikan sosial.
Segala kebajikan adalah bagian dari ketakwaan. Orang bertakwa gemar pada kebajikan, dalam bentuk apa pun dan diberlakukan kepada siapa pun. “Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga. Berapa banyak orang yang melaksanakan ibadah malam, tapi hanya mendapatkan kelelahan karena tidak tidur” (HR Ahmad).
Sumber: https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/pr46xr458/puasa-ramadhan-perisai-orang-beriman