Puasa yang terhormat, dalam arti memanfaatkan waktu untuk muhasabah diri
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH A Mustofa Bisri
Setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan, kita selalu mendengar atau membaca seruan, “Hormatilah bulan Ramadhan!” atau “Hormatilah orang puasa!”
Saya tidak tahu dari mana asalnya seruan ini. Mengapa di negeri beragama ini harus ada seruan itu? Sejak kapan Ramadhan minta dihormati? Apakah tanpa seruan menghormati Ramadhan, Ramadhan tidak dihormati? Bukankah sejak awal Ramadhan sudah terhormat?
Lalu, bagaimana kita menghormati Ramadhan atau menghormati orang berpuasa? Apakah ramai-ramai men-sweeping warung orang termasuk menghormati atau menodai Ramadhan dan orang yang berpuasa? Apakah memakmurkan rumah dengan tayangan televisi yang rata-rata lebih bersifat hura-hura termasuk menghormati Ramadhan atau justru merendahkan Ramadhan?
Apakah fatwa haram mengemis itu termasuk menghormati Ramadhan atau justru meledek Ramadhan? Apakah demo menuntut dihormatinya Ramadhan itu termasuk menghormati atau menghina Ramadhan?
Mengapa di bulan suci ini kita tampaknya–tetap–lebih mengurusi orang lain daripada diri sendiri. Bukankah di bulan suci ini kesempatan paling baik untuk menyucikan diri. Momentum paling pas mengevaluasi sikap dan amal kita.
Jangan-jangan karena terlalu sibuk melihat, mengawasi, dan meneliti sikap dan perilaku orang lain, diri kita terabaikan. Karena terlalu asyik mencari kesalahan orang, kesalahan sendiri tak terdeteksi. Siapa tahu, sementara kita terus menilai dan menghitung amal orang, kita lupa amal sendiri.
Dalam puasa seperti sekarang inilah, saya pikir saat yang tepat bermuhasabah, mawas diri. Apakah selama ini ucapan dan tindakan kita sudah sesuai atau justru menyimpang dari tuntunan dan contoh dari pemimpin agung kita Muhammad SAW.
Juga puasa kita, sudahkah merupakan ‘puasa yang terhormat’. Puasa yang mempunyai nilai luhur dan suci sebagaimana diharapkan. Puasa yang tidak hanya meninggalkan makan dan minum.
Bukankah Rasulullah SAW dalam hadis sahih telah bersabda, “Man lam yada’ qaulazzuuri.” Artinya, “Barang siapa tidak meninggalkan bicara buruk dan perbuatan buruk, Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.”
Allah SWT mewajibkan puasa agar kita benar-benar menjadi hamba-Nya yang bertakwa (QS Albaqarah [2]: 183). Puasa yang diterima Allah SWT dan menyebabkan dosa kita yang berpuasa diampuni ialah puasa yang ikhlas, iimaanan wahtisaaban, semata karena iman dan mencari ridha Allah SWT.
Semoga kita dapat berpuasa dengan tulus hanya karena Allah SWT dan dapat menghindari sikap, ucapan, dan perilaku yang menodai kehormatan bulan suci Ramadhan ini sendiri. Dan, semoga Allah SWT menerima puasa dan amal kita yang lain.
Sumber: https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/prdbvf458/puasa-yang-terhormat