Pertumbuhan konsumsi rumah tangga perlu ditingkatkan hingga 5,5 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto menilai, pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal pertama tahun ini yang mencapai 5,07 persen secara year on year (yoy) patut diapresiasi. Nilai tersebut lebih tnggi dibanding dengan periode sama tahun lalu yang hanya 5,06 persen. Dengan kondisi tersebut, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia memang berkisar lima persen lebih sedikit sejak kuartal pertama tahun 2016.
Akan tetapi, Ryan menambahkan, salah satu poin yang harus dilihat adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal pertama 2019. Pertumbuhannya yang mampu mencapai 5,01 persen cukup mengejutkan.
“Sebab, ekspektasinya jauh di atas lima persen,” tuturnya kepada Republika.co.id, Senin (6/5).
Tidak hanya konsumsi, investasi langsung atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga hanya tumbuh 5,03 persen. Ryan menyebutkan, nilai tersebut relatif rendah dari yang diharapkan. Kondisi serupa terjadi pada ekspor yang tumbuh minus 2,08 persen, sementara impor tumbuh minus 7,5 persen.
Di tengah kondisi tersebut, belanja pemerintah masih dapat tumbuh 5,21 persen. Ryan menuturkan, yang mencengangkan adalah pertumbuhan konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT). Nilai pertumbuhannya dapat mencapai 16,93 persen yang disebabkan dengan aktivitas pemilu.
Hanya saja, Ryan menyayangan, pertumbuhan konsumsi LNPRT hanya memiliki andil 1,36 persen terhadap total PDB kuartal pertama yang sebesar Rp 3.782 triliun (atas dasar harga berlaku/ADHB). Dari sisi struktur, konsumsi rumah tangga masih memiliki andil terbesar (56,82 persen) yang dsusul PMTB (32,17 persen).
Dengan berbagai kondisi yang ada, Ryan menyebutkan sejumlah pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pascapemilu. Pertama, mendorong kontribusi konsumsi rumah tangga ke kisaran 5,5 persen. “Selain itu, dorong pertumbuhan belanja pemerintah ke kisaran delapan persen,” ucapnya.
Kontribusi PMTB juga harus didorong ke kisaran 10 persen, baik Penanaman Modal Asing (PMA) ataupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sementara tingkat ekspor didorong di kisaran tiga persen, pertumbuhan impor harus ditekan di kisaran minus 10 persen.
Ryan memprediksi, pada kuartal kedua 2019 dan sekitarnya, pertumbuhan ekonomi kuartalan dapat tumbuh rata-rata sekitar 5,1 sampai 5,3 persen (yoy). Target ini harus tercapai agar pertumbuhan PDB Indonesia dapat mencapai batas bawah 5,1 persen (yoy) dan batas atas 5,2 persen (yoy).
Ryan menambahkan, pemerintah harus jeli mendorong berbagai sektor ekonomi produktif untuk dapat tumbuh lebih kuat. Di antaranya di sektor pengolahan, perdagangan, pertanian, kontruksi dan pertambangan. “Kelimanya memiliki andil besar terhadap pembentukan PDB yang kuat dengan multiplier effects yang besar,” ucapnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2019 mencapai 5,07 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yoy, yakni 5,06 persen. Tapi, dibandingkan kuartal keempat 2018 (quarter to quarter/q to q), angkanya menurun dari 5,18 persen.
Sumber: https://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/pr4680370/tugas-pemerintah-dorong-ekonomi-makro-pascapemilu