Berita Seputar Teknologi, Kesehatan dan Olah Raga

Pages

Putusan Mahkamah Konstitusi Jangan Jadi Bahan Saling Hujat

loading…

JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi titik akhir perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Presiden 2019. Semua pihak harus menghormati putusan tersebut sesuai amanat konstitusi. Jangan sampai malah menjadi bahan baru untuk saling hujat dan fitnah. Harapan agar bunyi putusan tidak menjadi bahan saling hujat dan fitnah di tengah masyarakat ditekankan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.

Potensi putusan MK menjadi polemik sangat besar, mengingat keputusan tersebut pasti tidak akan memuaskan semua pihak. “Kami menyadari sepenuhnya bahwa putusan ini tak mungkin memuaskan semua pihak. Untuk itu, kami mohon jangan dijadikan ajang saling hujat dan saling memfitnah,” ujar Anwar Usman saat membuka sidang putusan di Gedung MK Jakarta.

Dia juga menegaskan majelis hakim hanya takut pada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu, kesembilan hakim telah berijtihad, berusaha sedemikian rupa, untuk mengambil putusan dalam perkara ini. “Yang tentu saja harus didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dan terbukti di dalam persidangan. Karena itu, diharapkan kepada kita semua untuk menyimak pengucapan putusan ini, terutama yang terkait dengan pertimbangan hukum dan amar putusan,” paparnya.

Baca Juga:

Majelis hakim bertanggung jawab atas segala putusan yang dibuatnya terhadap Tuhan. “Kami akan mempertanggungjawabkan putusan ini kepada allah SWT. Tuhan YME. sesuai amanah Allah dalam Quran Surat An-Nisa 158, dan sesuai yang disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait,” ucapnya.

Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mengimbau pendukung capres 01 dan 02 menghentikan pertikaian di udara alias media sosial pasca-putusan MK. “Jika hakim MK telah memutuskan perselisihan Pilpres 2019, sudah jangan ribut-ribut lagi di media sosial. Semua saling dukung untuk Indonesia,” harap Jimly.

Kedua kubu pendukung capres hendaknya tidak saling olok, menuding tanpa argumentasi, dan menyebarkan hoaks setelah putusan MK ini. Jimly justru berharap media sosial menjadi alat yang bisa merekatkan lagi silaturahmi kebangsaan. “Kita sudah bisinglah dengan begitu. Masa seperti itu ingin terus dipelihara sejak lima tahun lalu di media sosial. Jadinya membuat berkonflik satu dengan lain,” ujarnya.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menyerukan agar semua warga negara Indonesia menyambut pembacaan putusan MK dengan lapang dada, serta menjaga kondisi dan situasi damai dan harmoni. "Mari kita ikuti proses pengucapan putusan MK melalui saluran media elektronik yang ada. Tidak perlu datang dan hadir di MK," katanya.

Selain itu, sebagai bangsa beragama, PBNU mengajak masyarakat mendoakan seluruh majelis hakim MK agar diberi kekuatan iman sehingga bisa membuat keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan fakta-fakta persidangan dan hukum yang berlaku. "Para pihak yang bersengketa dan segenap komponen masyarakat lain juga seyogianya menerima putusan MK dengan lapang dada," harapnya.

Robikin menjelaskan, MK adalah saluran konstitusional untuk penyelesaian sengketa pilpres. Untuk itu, dalam kerangka konstitusi, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak menerima atau menolak putusan MK. "Apa pun jenis putusan MK tersebut. Mengapa? Karena putusan MK berlaku mengikat, bukan hanya kepada para pihak yang bersengketa (inter parties), tapi juga mengikat kepada siapa pun dan berlaku umum (erga omnes)," urainya.

Kepatuhan terhadap putusan pengadilan, dalam hal ini MK, kata Robikin, tidak bisa ditawar dan mencerminkan bentuk ketertundukan warga negara terhadap negara (obedience by law). Berdasar asas erga omnes itulah, Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011 (UU MK) menyatakan bahwa putusan MK bersifat final and binding. Final berarti tidak terdapat akses untuk melakukan upaya hukum atas putusan MK dan sejak putusan diucapkan seketika itu berkekuatan hukum tetap.

Sifat final putusan MK dimaksudkan agar keadilan konstitutif suatu putusan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh warga negara dan seketika itu juga memiliki kepastian hukum. Adapun binding (mengikat) artinya putusan MK berlaku mengikat bukan hanya terhadap para pihak yang bersengketa, tetapi juga warga negara keseluruhannya, termasuk seluruh institusi negara.

"Saya berharap semua warga negara Indonesia menyambut pembacaan putusan MK yang akan dilangsungkan besok (27/6) dengan menjaga kondisi dan situasi damai dan harmoni," serunya. Harapan senada disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas. Muhammadiyah berharap agar pihak-pihak yang berselisih dalam sidang sengketa PHPU bisa menerima putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

"Saya mengharapkan keputusan ini betul-betul bisa diterima oleh pihak-pihak yang berselisih, baik oleh pihak Pak Jokowi maupun pihak Pak Prabowo, supaya negeri ini aman, tenteram, dan damai," ujar Anwar Abbas, Rabu (26/6/2019). Anwar mengandaikan, jika negeri ini tidak aman, tenteram, dan damai, maka negeri ini akan menghadapi masalah yang tidak hanya dirasakan oleh satu-dua orang, namun akibatnya akan dirasakan seluruh warga bangsa.

"Kalau bagi saya, saya sangat merindukan kehidupan yang aman dan damai," urainya. Untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan damai itu kebenaran dan keadilan harus ditegakkan. "Ada slogan dalam Bahasa Inggris, no peace without justice, no justice without truth. Tidak ada kedamaian tanpa keadilan, tidak ada keadilan kalau tidak ada kebenaran," paparnya.

Karena itu, keputusan MK harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. "Jadi keputusan itu adalah keputusan mengikat, yang mengikat itu adalah kebenaran dan keadilan yang ditegakkan oleh hakim. Timbul pertanyaan bagaimana kalau seandainya keputusan itu tidak berpijak pada keadilan dan kebenaran? Itu akan menimbulkan masalah," sambungnya,

"Nah, di sinilah kepiawaian majelis hakim MK sangat diperlukan. Kecerdasan, kepiawaian dalam membuat keputusan." Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, semua pihak harus bisa menerima keputusan MK dengan lapang dada. "Memang tidak semudah yang dibayangkan. Masih ada beban psikologi politik yang berat bagi sebagian anggota masyarakat," tuturnya.

Untuk itu, diperlukan pemenuhan prakondisi dan kesiapan mental kebangsaan secara kolektif. Pertama, kesadaran politik bahwa pemilu adalah bagian dari proses seleksi pemimpin dan kepemimpinan yang alamiah dalam sistem demokrasi.

"Memang tidak selalu sempurna. Tetapi, harus ada kesadaran bahwa ibarat sebuah pertandingan final, harus ada pihak yang menang dan kalah sesuai aturan permainan. Perlu kesadaran teologis bahwa kekuasaan adalah amanat dan takdir Tuhan. Ada batas ikhtiar dan waktu bertawakal," ucapnya.

(don)

Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1415502/12/putusan-mahkamah-konstitusi-jangan-jadi-bahan-saling-hujat-1561675545


close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
KODE DFP 2
KODE DFP 2