Para ibu WNI menerapkan sejumlah strategi berbeda pada anaknya saat bulan puasa.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan menjadi tantangan tersendiri bagi para ibu WNI (warga negara Indonesia) di Eropa Barat. Ramadhan, yang jatuh di perbatasan musim semi dan musim dingin, menyebabkan puasa di kawasan tersebut durasinya bisa lebih panjang.
Di Inggris, misalnya, masyarakat muslim menjalani puasa selama 18 jam. Terhitung dari pukul 03.00 dini hari hingga jam sembilan malam. Orang tua pun butuh menyesuaikan anak-anaknya terhadap perbedaan tersebut.
“Anak-anak sulit untuk bersahur sesuai waktunya, biasanya mereka sahur sekitar jam 04.00 pagi,” tutur Rinta Juniawati.
Rinta merupakan warga Indonesia yang mendampingi suaminya menyelesaikan program doktor di University of Sheffield. Ibu dua putra kembar berusia 10 tahun ini pun mengaku menerapkan strategi berbeda-beda dari tahun ke tahun setiap Ramadhan.
Menurutnya anak-anak mulai latihan puasa sejak usia lima tahun. Tahun lalu ketika puasa jatuh di puncak musim panas, anak-anak puasa 12-14 jam mengikuti jam Indonesia. Sekarang karena Ramadan sudah bergeser ke musim semi, waktunya lebih singkat. Di hari libur anak-anak bisa berpuasa penuh waktu.
Tidak hanya soal waktu, tantangan datang dari pihak sekolah. Rinta mengaku sekolah tempat anak-anaknya belajar hanya mengizinkan siswa berusia minimal sembilan tahun untuk berpuasa.
Nurisma Fira, ibu tiga anak yang tinggal di Colchester mengaku, ujian nasional yang jatuh di pekan ketiga Mei membuatnya “meliburkan” anak-anaknya dari puasa.
“Pihak sekolah kuatir anak tidak maksimal menjalani ujian, sehingga mereka mengharapkan anak tidak berpuasa di hari-hari ujian,” ujarnya kepada Antara London. “Bagi saya ini masih bisa dikompromikan karena anak-anak saya belum usia baligh.”
Selain itu, jumlah muslim di Colchester yang minoritas menyebabkan anak selalu menerima pertanyaan terkait ibadah puasa dari teman-teman di sekolah. “Pihak guru biasanya membantu menjelaskan kepada murid-murid yang lain tentang Islam,” terang Fira.
Salah satu yang dilakukan pengajar misalnya membuat agenda Multicultural Day. Pada acara ini anak bisa datang ke sekolah dengan busana tradisional atau nasional masing-masing.
“Putri saya datang berbusana muslimah. Putra saya yang berusia lima tahun diminta membawa sajadah ke sekolah dan guru membantu menjelaskan kepada teman-temannya di kelas,” ujar Fira. “Ada guru laki-laki yang mempraktikkan azan. Pihak sekolah juga mengundang beberapa tokoh Colchester Islamic Cultural Association untuk berbincang dengan anak-anak.”
Tidak semua muslim tinggal di kota berpenduduk muslim minoritas. Yumna U. Nusaybah, misalnya, tinggal di London Timur yang banyak dihuni masyarakat Muslim. Di sana ia mengaku tidak menghadapi kesulitan dalam mengenalkan ibadah Ramadan kepada anak-anaknya.
“Anak-anak belajar di sekolah Islam, sehingga saya tinggal menambah program Ramadan di rumah,” tutur ibu dua putri dan satu putra ini.
Menjelang Ramadan, Yumna mengajak dua putrinya yang berusia 9 dan 6 tahun untuk melakukan beberapa persiapan. “Yang rutin biasanya membersihkan rumah, memasang dekorasi menyambut Ramadan, membuat daftar buku-buku Islam dan buku-buku doa untuk dibaca selama puasa, selain tentunya juga target memperbanyak membaca Alquran,” ungkapnya.
“Untuk agenda buka puasa, adakalanya kami lakukan di Central Mosque London atau di East London Mosque bersama masyarakat muslim lainnya,” tambah Yumma.
Sementara bagi Maya Puspitasari, Ramadan adalah momen tepat untuk mengasah kepekaan sosial putri sulungnya yang berusia lima tahun. Diakuinya agak sulit karena kita tinggal di negara maju sehingga anak belum mampu mengindera langsung mengapa kita perlu berbagi dengan orang lain, tutur ibu dua anak ini.
Maya yang sedang menempuh pendidikan doktor di School of Education, University of Glasgow ini menganggap penting kemampuan berbagi dan bersedekah anak. “Saya cerita bagaimana di luar sana ada anak-anak kurang beruntung yang tidak memiliki mainan ataupun baju sebanyak yang anak saya miliki. Untuk latihan, saya meminta anak untuk memberikan baju atau mainan yang sudah tidak dipakai. Bisa juga dengan mendorong anak menyedekahkan uangnya untuk masjid.”
Salah satu momen istimewa yang biasanya dinanti oleh keluarga muslim di Inggris Raya adalah saat berbuka puasa. Di akhir pekan atau hari libur, biasanya orang tua membawa anak-anaknya berbuka bersama komunitas muslim lainnya di masjid.
Baik Rinta, Fira, maupun Maya berpendapat senada bahwa waktu Maghrib dan Isya yang larut menyebabkan anak-anak mereka belum mampu melaksanakan ibadah tarawih. Yumna di London Timur memilih menyelenggarakan tarawih di rumah bersama tetangganya.
“Karena anak bungsu saya masih balita, tidak memungkinkan mengikuti tarawih berjamaah di masjid yang biasanya diselenggarakan dari jam 22.00 hingga tengah malam,” jelasnya. “Jadi saya menyelenggarakan jamaah tarawih bersama ibu-ibu muslim yang berdomisili di sekitar tempat tinggal saya. Sejauh ini responnya baik.”
Memang tidak semua keluarga muslim disibukkan dengan program Ramadan untuk buah hatinya. Mela Amalia, ibu dari putri berusia 22 bulan mengaku cukup relaks menjalani ibadah Ramadan.
“Kadang anak saya ikut sahur. Kadang kalau tidak mengantuk dia juga bisa diajak tarawih.” Selebihnya Mela beserta suaminya yang sedang menempuh pendidikan doktor di University of Liverpool mengikuti jadwal kegiatan yang diadakan oleh Abdullah Quilliam & Heritage Centre Liverpool.
Sumber: https://republika.co.id/berita/ramadhan/kabar-ramadhan/psigtw284/tantangan-mengajar-anak-puasa-di-inggris