loading…
Dalam konteks ini pendidikan tak ubahnya "arena gladiator" untuk mengalahkan pihak lain. Apa pun dilakukan, yang penting (siswa) juara. Para orang tua juga melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan kapasitas anak mereka, seperti les yang berlebihan. Sekolah nyaris menghabiskan sebagian besar waktu belajar untuk latihan mengerjakan soal-soal ujian di setiap kelas akhir hanya dengan tujuan agar siswanya mendapat nilai tinggi/tertinggi di ujian akhir.
Kuatnya penolakan terhadap sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019/2020 di sekolah-sekolah negeri, seperti yang terjadi baru-baru ini, menunjukkan betapa masih kuatnya dominasi paradigma kompetisi dan favoritisme sekolah ini. Bahkan, sampai terjadi kecurangan dari pihak orang tua calon peserta didik yang memanipulasi domisili agar anaknya bisa masuk sekolah favorit (KORAN SINDO, 2/7/2019, hlm 3).
Baca Juga:
Mengapa bisa terjadi? Karena, dalam sistem zonasi penerimaan siswa baru tidak lagi didasarkan nilai yang diperoleh siswa, tetapi jarak kedekatan antara tempat tinggal siswa dan lokasi sekolah. Kebanyakan para orang tua siswa atau para siswa sendiri tetap beranggapan bahwa seharusnya angka nilai yang diperoleh siswa yang lebih menentukan dalam PPDB daripada jarak tempat tinggal dengan sekolah. Akibatnya, begitu sistem zonasi diberlakukan, protes masyarakat pun berhamburan.
Memutus Mata Rantai
Memang, harus diakui, pelaksanaan siswa berdasarkan zonasi dalam PPDB merupakan perubahan kebijakan yang cukup radikal. Sistem zonasi sebagai kebijakan yang radikal juga diakui oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Dalam suatu kesempatan berbicara kepada pers, Muhadjir Effendy mengatakan bahwa sistem zonasi merupakan sistem terbaik untuk memperbaiki sistem pendidikan secara radikal.
Sistem zonasi juga bukan sesuatu yang diambil secara serta-merta, melainkan sudah melalui kajian yang mendalam lewat badan penelitian dan pengembangan lembaga yang bersangkutan. Sistem zonasi juga sudah lama diberlakukan di negara-negara yang sistem pendidikannya maju seperti Amerika, Jepang, Jerman, negara-negara Skandinavia, dan Malaysia.
Perubahan radikal ini tentu saja setidak-tidaknya di antaranya untuk mendekonstruksi persepsi umum yang berlaku di masyarakat, bahwa angka nilai merupakan ukuran tertinggi prestasi siswa. Perolehan angka nilai (nilai UN, IPK, dan sejenisnya) seakan-akan menjadi penentu utama keberhasilan dan masa depan siswa, dengan mengabaikan faktor-faktor lain, seperti kemampuan kolabarasi, bakat-bakat khusus, dan sebagainya.
Karena itu, siapa pun yang memperoleh angka tertinggi dalam angka nilai ujian, sudah selayaknya dia mendapatkan privilese (hak istimewa) dalam segala sesuatunya, termasuk dalam PPDB. Hal ini tentu semakin mengukuhkan paradigma kompetisi dalam pendidikan tersebut. Bukannya kompetisi yang jelek, kompetisi merupakan salah satu nilai afektif (sikap) yang harus dimiliki siswa. Karena itu, sangat dianjurkan. Namun, ketika kompetisi sudah menjadi "berhala", saat itulah kompetisi menemui titik krusialnya.
Dengan demikian, sistem zonasi dalam PPDB diharapkan bisa memutus mata rantai "pemberhalaan" atas pemerolehan nilai angka dalam sistem evaluasi pendidikan kita yang cenderung lebih bersifat kuantitatif, sangat minim memotret sisi kualitatif profil siswa. Bukan berarti penilaian yang bersifat kuantitatif tidak penting.
Bagaimanapun, guru membutuhkan instrumen bagaimana memetakan para siswanya, mengukur sejauh mana materi pembelajaran sudah terserap, yang menandakan bahwa indikator pembelajaran tercapai. Bukankah kini juga lebih digalakkan penilaian otentik berbasis portofolio siswa. Tentu saja, akan menjadi sangat naif jika profil kompetensi siswa kemudian disimplifikasi dengan pemerolehan nilai ujian nasional (untuk pendidikan dasar dan menengah) atau indeks prestasi kumulatif (IPK) untuk pendidikan tinggi.
Karena itu, sistem zonasi dalam PPDB harus dibaca sebagai titik awal upaya perubahan mindset (pola pikir) di masyarakat yang terlalu mendewakan nilai angka (nilai akademik). Pasar dunia kerja juga tidak boleh terlalu mendewakan nilai di dalam sistem rekrutmen SDM.
Bolehlah tetap ada standar minimum nilai akademik yang harus diperoleh lulusan, namun jika hanya itu yang menjadi bahan pertimbangan, kelak pihak (perusahaan) pemakai lulusan akan kecele, karena belum tentu anak yang memiliki nilai tinggi di dalam nilai akademik, ujian UN atau IPK dijamin memiliki kompetensi yang sepadan dengan nilai formal tersebut. Setidaknya, nilai-nilai yang berkaitan dengan soft-skill lulusan akan sangat sulit terpotret jika melihat profil lulusan hanya dari perolehan nilai UN atau ijazah yang minim deskripsi profil lulusan tersebut.
Pembentukan Watak
Mengapa semangat kompetisi harus ditransformasikan menjadi semangat pendidikan nilai? Setidak-tidaknya, mengapa pembentukan watak peserta didik dianggap lebih penting? Hal ini tidak lain karena kemampuan bersifat nilai soft-skill lebih diperlukan bagi para siswa dalam menapaki kehidupan nyata di masyarakat kelak, termasuk di dalam lingkungan kerja, seperti kemampuan mengelola emosi diri, membangun relasi positif di dalam tim, menghormati pihak lain, berkontribusi positif dalam kelompok, menjalin komunikasi yang efektif, dan sebagainya. Tanpa kemampuan dan kemauan berkolaborasi dan berkontribusi, seseorang akan teralienasi dari lingkungannya.
Ia akan menjadi pribadi yang egoistik dan asosial. Selain itu, tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa berkolaborasi dengan pihak lain.
Dengan berkolaborasi, misalnya, individu akan berkembang menjadi pribadi yang asertif. Pribadi asertif adalah pribadi yang terbuka, percaya diri, menghormati liyan (orang lain), tidak egoistis, berkontribusi positif terhadap kelompok atau lingkungan, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan tidak menyakiti lawan bicaranya.
Pendek kata, pribadi yang asertif adalah pribadi yang proaktif dan mampu mengekspresikan diri atas sikap dan pribadinya secara jujur dan terbuka. Sikap-sikap asertif, di antaranya, ditandai oleh beberapa hal positif, seperti berani mengakui kesalahan dan bersedia minta maaf; mengapresiasi prestasi dan kerja orang lain; mampu mendengarkan dan merespons secara positif pendapat orang lain, meskipun beda pendapat; dan menjadi diri sendiri. Dengan kata lain, dengan berkolaborasi, potensi siswa memungkinkan berkembang secara maksimal, baik itu kecerdasan intelektual (IQ) maupun kecerdasan emosional-spiritual (ESQ).
Namun, semangat kompetisi siswa tidak boleh dimatikan. Semangat kompetisi dan mentalitas kolaboratif-kontributif seperti dua sisi mata uang yang tidak boleh hilang salah satunya. Semangat kompetisi menghasilkan pribadi yang unggul, mental petarung (dalam arti positif), kreatif, dan pantang menyerah. Pribadi yang demikian ini tentu sangat dibutuhkan untuk generasi mendatang. Di tengah-tengah persaingan yang semakin sengit, baik lokal maupun global, mentalitas petarung ini sangat dibutuhkan. Di samping, semangat kreativitas yang berorientasi pada produktivitas, inovasi, dan mutu.
()
Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1417803/18/dari-sistem-zonasi-ke-pendidikan-nilai-1562373488