Senin, 26 Zulqaidah 1440 H / 29 Juli 2019 09:46 wib
1 views
Oleh: Endiyah Puji Tristanti (Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
Istilah psycho-democracy dalam judul tulisan ini sama sekali tak hendak membeo terhadap apa yang dipromosikan oleh Mina Loy, penyair dan pelukis yang meluncurkan aliran revolusi modernis, dalam pamphlet Psycho-Democracy (1920) terbitan Florence, Italia.
Namun bahwasannya memang keadaan politik dan pemerintahan di Indonesia saat ini menggambarkan keadaan yang sakit mental akibat mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi. Maknanya menggugat demokrasi bukan perbuatan haram.
Sebuah sistem pemerintahan memang harus memiliki model akuntabilitas yang cakap dan cukup. Adanya cacat akuntabilitas sebuah sistem pemerintahan cukup menjadi argumentasi dasar menolak sistem tersebut. Mempertahankan sistem cacat hanya akan menyibukkan suatu negara melakukan proses tambal sulam yang sia-sia dan pasti membawa negara pada kerugian.
Sabtu, (13/7) dua kontestan pemilihan presiden bertemu di stasiun MRT Lebak Bulus. Kepada wartawan Jokowi menyampaikan bahwa pertemuan antara dirinya dengan Prabowo sudah dirancang sejak lama. Pertemuan ini adalah pertemuan antarsahabat, untuk merajut kembali persatuan Bangsa Indonesia. Inilah ‘rekonsiliasi’.
Sementara Pendiri Kantor Hukum Lokataru Hariz Azhar tak melihat rekonsiliasi konkret dalam pertemuan dua kontestan pemilihan presiden tersebut. Dia menilai kedua belah pihak hanya mencari posisi sama-sama untung. Kubu Jokowi menggunakan kata rekonsiliasi untuk menundukkan kubu Prabowo supaya tidak terus berulah. Sementara kubu Prabowo menggunakan kata rekonsiliasi dalam rangka mencari keuntungan bagi pihaknya.
Bila demikian adanya lantas untuk apa tewasnya 600 orang dan gugurnya martir 11-12 Mei lalu. Pelajaran yang tersurat dan tersirat yang ada bahwa menerima kecurangan adalah bukti kematangan berdemokrasi. Demi sebuah persahabatan politik dalam proses pendewasaan berdemokrasi. Sungguh demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang sakit, egois dan tidak bertanggungjawab.
Di Indonesia demokrasi sejatinya adalah totalitarianisme. Legislatif dan yudikatif hanyalah lembaga kosong dan ompong. Kekuasaan politik memegang kendali terpusat dan absolut dalam seluruh aspek kehidupan. Individu merupakan subordinat negara dan oposisi politik maupun kultural ditekan dengan keras. Muncul sejumlah politisi psycho(path) menghunuskan pisau demokrasi.
Benarlah pernyataan ini. "Politisi lebih mungkin daripada orang dalam populasi umum untuk menjadi sosiopat. Saya pikir Anda tidak akan menemukan ahli di bidang sosiopati / psikopat / gangguan kepribadian antisosial yang akan membantah ini.
Bahwa sebagian kecil manusia secara harfiah tidak memiliki hati nurani adalah dan merupakan pil pahit yang harus ditelan masyarakat kita – tetapi itu menjelaskan banyak hal, perilaku politik yang menipu tanpa malu menjadi satu."- Dr. Martha Stout, psikolog klinis dan mantan instruktur di Harvard Medical School
Psikopat dan politisi memiliki kecenderungan untuk menjadi egois, tidak berperasaan, pengguna yang tidak kenal belas kasihan terhadap orang lain, pembohong yang patologis , glib, penipu yang tidak bertanggung jawab, penipu, kurang menyesal dan dangkal.
Politisi karismatik, seperti psikopat kriminal, menunjukkan kegagalan untuk menerima tanggung jawab atas tindakan mereka , memiliki rasa harga diri yang tinggi, secara kronis tidak stabil, memiliki gaya hidup yang menyimpang secara sosial, memerlukan stimulasi terus-menerus, memiliki gaya hidup parasit dan memiliki tujuan yang tidak realistis.
Hipokrisi Demokrasi Konstitusi Legal
Untuk ke-5 kalinya dalam sejarah AS, seorang kandidat presiden telah “menang” sambil kehilangan suara rakyat. Sistem demokrasi telah membuktikan sekali lagi sebagai kegagalan total untuk menampilkan alternatif kediktatoran. Demokrasi, sistem minus akuntabilitas.
Pada negara raksasa demokrasi, Amerika Serikat. Clinton telah memenangkan 232 suara pemilihan, dan Trump, 306. Tetapi kenyataannya bahwa Clinton memenangkan lebih banyak suara. Menurut The New York Times , Clinton mendapat 65.844.610 (48,1% suara) dan Trump, 62.979.636 suara (46% suara). Jadi, Clinton telah “menang” dengan selisih hampir tiga juta suara (2.864.974 suara), tetapi telah kehilangan kursi kepresidenan.
Ketidakcocokan antara pemilihan dan pemilihan umum ini adalah hasil dari Trump memenangkan beberapa negara besar (seperti Florida, Pennsylvania dan Wisconsin) dengan margin yang sangat sempit, dan Clinton memenangkan negara-negara besar (seperti California, Illinois dan New York) dengan margin yang jauh lebih luas.
Hal yang sama terjadi pada tahun 2000, ketika Al Gore mendapat 543.895 suara lebih banyak dari Bush tetapi kehilangan kursi kepresidenan (50.999.897 suara -Al Gore- terhadap 50.456.002 suara -Bush-).
Tiga kali lainnya semuanya pada 1800-an. Terjadi pada 1824, Andrew Jackson “kalah” dari John Quincy Adams tetapi memenangkan pemungutan suara populer. Pada 1876 Samuel Tilden “kalah” dari Rutherford B. Hayes tetapi memenangkan pemungutan suara populer. Dan pada tahun 1888 Grover Cleveland “kalah” dari Benjamin Harrison tetapi memenangkan pemilihan umum.
Demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat, serta “Suara Rakyat Suara Tuhan” adalah konsep bathil dan batal dengan sendirinya di negara pengasongnya. Mustahil Indonesia dibiarkan berjalan mengikutinya.
Akuntabilitas Negara Khilafah
Menghayati konsep Khilafah bukan hanya dilakukan oleh kalangan muslim ‘radikal’. Banyak kalangan orientalis yang justru bisa memahami pemilahan kekuasaan di dalam Khilafah, salah satunya Thomas Arnold.
Arnold menyatakan, “Hukum yang diturunkan dari aturan agama sangat membutuhkan kepatuhan dari semua orang, bahkan dari sang Khalifah sendiri. Secara teoritis pemerintahan negara sekurang-kurangnya akan berjalan harmonis berdasarkan tuntunan syariat.
Secara teori adalah benar seorang Khalifah bisa menjadi mujtahid, orang yang menetapkan hukum. Namun keputusan hukum dari seorang mujtahid terbatas pada interpretasi hukum dalam aplikasinya pada masalah-masalah tertentu. Ini berlangsung dari masa ke masa, mujtahid sama sekali bukan pembuat hukum.”
Sedangkan struktur yudikatif negara Khilafah menganut dua macam independensi yudisial. Pertama, independensi institusional yakni lembaga yudikatif bersifat independen dari pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif.
Kedua, independensi desisional yakni gagasan bahwa hakim wajib membuat keputusan hukum berdasarkan hukum dan kasus yang dihadapi semata, tanpa adanya pengaruh media, politik, dan hal yang dapat memalingkan keputusan secara adil. Bahkan independensi Yudikatif Khilafah memegang kedua jenis independensi hingga pada skala yang lebih tinggi dari lembaga yudikatif di dalam sistem demokrasi modern.
Adalah Mahkamah Madzalim yang mengadili perselisihan antara struktur dan pejabat negara dengan rakyat. Guna memastikan agar Qadli Madzalim bebas dari pengaruh politik, maka syariat menetapkan sebagai berikut:
1. Pada saat Qadli Madzalim sedang menyidang kasus yang melibatkan Khalifah, pembantu khalifah bidang pemerintahan (Muawwin Tahfidl), atau kepala pengadilan (Qadli al-Qudat), maka Khalifah tidak memiliki wewenang memberhentikannya.
2. Bila Qadli Madzalim menyidang kasus penyimpangan Khalifah maka Khalifah tidak berhak memperluas membatalkan keputusan Qadli dan kemudian mengubah aturan. Sebab Khilafah tidak mengenal konsep ‘pengampunan’ atas kejahatan.
Prinsip syariat yang berlaku, “Sesuatu yang menimbulkan keharaman hukumnya adalah haram”.
Demikian juga lembaga Majelis Ummat yang merupakan lembaga representatif umat dan warga negara non-muslim namun bukan lembaga legislatif. Sehingga dalam perkara hukum, undang-undang dan konstitusi pendapat Majelis Umat tidak mengikat.
Pendapat Majelis mengikat bila mencapai mayoritas dalam perkara menilai kinerja Khalifah dalam tindakan kenegaraan yang telah dilaksanakan. Majelis berhak mengekspresikan ketidakpuasan pada para pembantu Khalifah dan kepala daerah dan pendapat Majelis mengikat.
Pengimbang kekuatan eksekutif Khalifah telah jelas dalam buku “The Draft Constitution of The Khilafah State. The Introduction and The Incumbent Reason” (Muqaddimah Dustur aw al Asbabul Mujibatulah), karya Taqiyyuddin an-Nabhani.
Sebuah tantangan dan harapan. Inilah mengapa bisa dipahami pelaksana Tugas Ketua PA 212, Asep Syarifudin mengharapkan khilafah bisa tegak berdiri di Indonesia tahun 2024.
Menurutnya, khilafah atau sistem kenegaraan yang berlandaskan ajaran Islam itu tidak terlarang. Alasan Asep yang menginginkan khilafah tegak di Indonesia itu adalah, karena sistem kenegaraan di Indonesia kekinian belum bisa mengamankan kedaulatan agama.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!
Sumber: http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2019/07/29/65918/mengakhiri-psychodemocracy-di-indonesia-dengan-khilafah/