Ulama Aceh bernama Habib Bugak memiliki aset di Makkah.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Raditya Sukmana, (Profesor Ekonomi Islam, Ketua Departemen Ekonomi Syariah Universitas Airlangga), Imam Wahyudi Indrawan, (Asisten Peneliti Departemen Ekonomi Syariah Universitas Airlangga)
Ibadah haji merupakan impian semua umat Islam di dunia, termasuk Indonesia. Rukun Islam kelima ini mensyaratkan adanya kemampuan bagi yang ingin melaksanakannya, baik dari sisi fisik, mental, ilmu, maupun harta. Hal ini mendorong masyarakat berbondong-bondong mempersiapkan diri agar dapat bersegera menuju Baitullah.
Antusiasme masyarakat dan perbaikan kondisi ekonomi menimbulkan dampak yang luar biasa, yakni waktu antre haji reguler yang begitu panjang. Jika di Indonesia, waktu antre haji reguler mencapai sekitar 20 tahun. Sementara itu, di Malaysia dengan populasi lebih sedikit dan tingkat ekonomi yang lebih baik, waktu antrean dapat mencapai lebih dari 100 tahun.
Penantian yang begitu panjang untuk dapat bertamu ke Tanah Suci akan terbayar seiring tibanya jamaah di Tanah Suci dan memulai rangkaian ibadah haji. Namun, hal tersebut sering tercederai dengan pelayanan yang belum optimal dari otoritas penyelenggara haji, dengan masih adanya keluhan jamaah pada pelayanan haji, baik dari sisi katering, transportasi, maupun akomodasi.
Maka, diperlukan perbaikan dari waktu ke waktu. Pada saat yang bersamaan, makin besarnya populasi Muslim juga berarti akan meningkatkan jumlah jamaah haji dari waktu ke waktu. Pada gilirannya, peningkatan layanan haji merupakan sebuah keniscayaan meskipun pelayanan haji telah dianggap optimal.
Melihat urgensi untuk meningkatkan kualitas pelayanan haji secara berkelanjutan, penulis berpandangan, wakaf dapat menjadi mekanisme untuk pembiayaan dan pengelolaan sejumlah layanan haji. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari wakaf Habib Bugak Asyi yang manfaatnya masih dirasakan oleh jamaah haji asal Aceh.
Sekitar 200 tahun yang lalu, seorang ulama Aceh bernama Habib Bugak membeli tanah di Makkah, yang saat itu masih dikuasai Kesultanan Turki Utsmani, dalam rangka membantu jamaah haji dari Aceh yang pergi ke Makkah. Dari aset wakaf yang awalnya kecil dan hanya mencakup pemondokan sederhana, saat ini wakaf Habib Bugak telah bertransformasi menjadi wakaf produktif yang terdaftar di Kerajaan Arab Saudi serta mencakup lima aset kelolaan.
Pertama, Hotel Elaf Masyair, sebuah hotel bintang lima berisi 650 kamar yang berjarak 250 meter dari Masjidil Haram di wilayah Ajiyad Mushafi. Kedua, Hotel Ramada, sebuah hotel bintang lima lainnya yang juga berada di daerah Ajiyad Mushafi tetapi dengan kapasitas lebih besar, yakni mencapai 1.800 kamar.
Ketiga, Hotel Wakaf Habib Bugak Asyi di Aziziah yang dapat menampung 750 jamaah haji. Keempat, sebuah gedung perkantoran seluas 900 meter persegi di Aziziah yang menjadi Kantor Wakaf Habib Bugak Asyi di Makkah.
Kelima, sebuah gedung di Syaikiyah yang menjadi tempat tinggal orang Aceh di Arab Saudi atau warga Saudi keturunan Aceh. Gedung ini tidak dipungut biaya dan tanpa batas waktu.
Hasil pengelolaan wakaf produktif ini hingga saat ini masih dirasakan manfaatnya. Salah satunya adanya pemberian dana manfaat wakaf bagi setiap jamaah haji asal Aceh yang mencapai 1.200 riyal atau sekitar Rp 4,5 juta. Padahal, jumlah jamaah haji tidaklah sedikit, yakni mencapai sekitar 4.600 jamaah.
Belajar dari pengalaman wakaf Habib Bugak tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan wakaf secara produktif dapat menjadi sarana penyediaan sarana publik pelayanan haji dan memberikan manfaat secara luas bagi jamaah haji. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan haji bagi seluruh jamaah haji Indonesia, wakaf dapat dioptimalkan dengan sejumlah mekanisme.
Pertama, kita desain gabungan sukuk dengan wakaf atau sering disebut dengan sukuk linked wakaf. Dana yang didapat dari penerbitan sukuk akan digunakan untuk membangun bangunan di atas tanah wakaf.
Atau bisa juga didesain sedemikian rupa bahwa sebagian dana yang terkumpul akan digunakan untuk membeli tanah, yang kemudian diwakafkan. Sebagian dana yang lain juga bisa digunakan untuk mendirikan bangunan hotel di atas tanah wakaf tersebut yang berlokasi di Makkah, Madinah, dan di sekitarnya untuk melayani jamaah haji Indonesia pada musim haji.
Kedua, aset dikelola sebagai wakaf produktif dengan nazir yang kemudian menyerahkan operasi komersial aset kepada perusahaan, yang dapat berupa konsorsium antara perusahaan asal Indonesia (BUMN maupun swasta) dan perusahaan lokal Arab Saudi. Ketiga, hendaknya aset tersebut dapat terus produktif meskipun bukan musim haji. Misalkan, hotel dapat digunakan oleh jamaah umrah dari Indonesia pada saat bukan musim haji.
Keempat, manfaat dari pengelolaan wakaf produktif tersebut hendaknya dirasakan oleh jamaah haji. Hal ini dapat berupa uang tunai seperti pada wakaf Habib Bugak yang ditujukan bagi jamaah haji asal Aceh maupun digunakan untuk mendanai keperluan jamaah selama di Arab Saudi, seperti katering dan transportasi.
Pada dasarnya, pengelolaan haji telah ditanggung pendanaannya melalui BPIH (biaya perjalanan ibadah haji) yang dibayar jamaah haji. Namun, sebagaimana wakaf Habib Bugak yang memberikan manfaat lebih bagi jamaah haji asal Aceh, sepatutnya pengelolaan wakaf dapat digunakan untuk memberikan manfaat ekstra bagi jamaah haji asal Indonesia sehingga diharapkan layanan ibadah haji makin baik, ibadah makin nyaman, dan manfaat dari sisi ekonomi didapatkan.
Sumber: https://republika.co.id/berita/pw359k282/belajar-wakaf-haji-dari-ulama-aceh