Menjadi haji yang sempurna berarti fokus pada tujuan mencari ridha Allah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Faridah
Alkisah, Asy-Syibli, seorang ulama sufi besar, sepulang dari ibadah haji menemui gurunya, Ali Zainal Abidin, putra Husein cucu Nabi. Asy-Syibli pun ditanya, “Apakah kamu benar-benar sudah menunaikan ibadah haji?” “Sudah,” jawab Asy-Syibli.
Ia kembali ditanya, “Apakah ketika berhenti di miqat kamu menguatkan niat dan menanggalkan semua pakaian maksiat kemudian menggantinya dengan pakaian ketaatan?” “Tidak,” jawab Asy-Syibli.
Asy-Syibli kembali ditanya, “Saat kamu menanggalkan pakaian yang terlarang itu apakah kamu sudah menghilangkan perasaan riya, munafik, dan semua syubhat (yang diragukan hukumnya)?” Asy-Syibli menjawab, “Tidak.”
Ia kembali ditanya, “Ketika berada dalam ibadah haji yang terikat dengan ketentuan-ketentuan haji (manasik haji), kamu telah melepaskan diri dari segala ikatan duniawi dan hanya mengikatkan diri pada Allah?” “Tidak,” jawab Asy-Syibli. “Kalau begitu, kamu belum membersihkan diri, belum berihram, dan belum mengikat diri kamu dalam beribadah haji,” kata gurunya.
Ali Zainal Abidin kembali bertanya, “Ketika tawaf, apakah kamu berniat untuk lari menuju ridha Allah?” Asy-Syibli menjawab, “Tidak.” “Jika demikian, kamu belum tawaf,” ujar gurunya.
Sang gurunya bertanya lagi, “Apakah saat kamu melakukan sai antara Safa dan Marwah, kamu mencurahkan semua harapan untuk memperoleh rahmat Allah dan bergetar tubuhmu karena takut akan siksaan-Nya?” Asy-Syibli menjawab, “Tidak.” “Kalau begitu, kamu belum melakukan sai di antara keduanya,” kata gurunya.
Asy-Syibli kembali ditanya, “Ketika kamu wukuf di padang Arafah, apakah kamu benar-benar menghayati makrifat akan keagungan Allah? Apakah kamu menyadari hakikat ilmu yang dapat mengantarkanmu kepada-Nya? Apakah kamu menyadari dengan sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui segala perbuatan, perasaan, dan suara nurani?” “Tidak,” jawab Asy-Syibli. “Kalau begitu, kamu belum wukuf di Arafah,” kata gurunya lagi.
Ali Zainal Abidin melontarkan pertanyaan lagi, “Ketika kamu kembali ke Makkah untuk melakukan tawaf ifadhah, apakah kamu berniat untuk tidak mengharapkan pemberian dari siapa pun, kecuali dari karunia Allah, tetap patuh kepada-Nya, mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya?”
“Tidak,” jawab Asy-Syibli. “Jika demikian, kamu belum melaksanakan manasik. Kembalilah ke Makkah sebab kamu sesungguhnya belum menunaikan ibadah haji,” kata gurunya menegaskan. Asy-Syibli pun menangis dan berharap tahun depan bisa berhaji lagi dengan sempurna.
Dialog di atas dikutip dan diringkas dari kitab hadis Al-Mustadrak karya Imam al-Hakim. Dari dialog tersebut tergambarkan bahwa haji selain menunaikan manasik haji dengan benar juga perlu diiringi penjiwaan atau pemaknaan terhadapnya. Jadi, haji tidak sekadar aktivitas yang menguras fisik, tetapi tanpa efek baik terhadap individu ataupun masyarakat secara luas sepulang dari haji.
Umat Islam dari berbagai penjuru bumi telah selesai menunaikan ibadah haji dan umrah di Tanah Suci. Setiap jamaah tentu berharap bisa menunaikan rukun Islam kelima itu dengan baik, yakni menjadi haji mabrur (diterima Allah). Nabi SAW bersabda, “Haji mabrur itu tiada balasan pahala bagi pelakunya kecuali surga.” (HR Bukhari).
Namun, tidak semua mendapatkan predikat yang mulia tersebut. Semua bergantung pada perilaku individu pelaku haji selama dalam rangkaian manasik haji tersebut. Haji yang sempurna atau mabrur adalah haji jiwa raga yang berefek nyata dalam kehidupan: dalam ucapan, perilaku, dan hati. Wallahu a’lam.
sumber : Pusat Data Republika
Sumber: https://khazanah.republika.co.id/berita/pwjrlt458/haji-yang-sempurna