Idul Adha menjadi momentum untuk kita mengambil hikmah kisah dua nabi berikut
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aa Fachrurrozi
Setiap tahun kaum Muslimin menyambut datangnya Hari Raya Idul Adha dengan memperbanyak bacaan takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil. Mereka yang mampu juga menyembelih hewan kurban, disertai dengan merenungi diri masing-masing (muhasabah bin nafsih), sudah sejauh mana kita konsekuen dan konsisten dalam pelaksanaan syariat Islam.
Semangat berkurban — yang menjadi inti dari Hari Raya Idul Adha — menjadi tolok ukur dan gambaran tentang seberapa besar kesediaan kita untuk mengorbankan apa yang kita miliki demi kecintaan kita kepada Allah dan menaati segala perintah-Nya.
Idul Adha adalah hari yang monumental, yang mengingatkan kita semua akan kesediaan Nabi Ibrahim as, demi ketaatannya terhadap perintah Allah, menyembelih buah hatinya, Ismail. Namun, tatkala pisau tajam siap memenggal leher Ismail, dengan kehendak Allah, digantinya tubuh Ismail yang telah menyediakan diri semata demi cintanya kepada Allah dan ayahandanya, dengan seekor domba besar.
Sungguh kisah yang sangat menyentuh hati dan patut kita jadikan bahan renungan. Sepasang ayah dan anak yang saling mencintai rela berpisah dan melepas kecintaannya demi memenuhi perintah Allah swt. Ibrahim adalah cermin seorang ayah yang sangat mencintai anaknya, Ismail.
Lebih-lebih Ismail terlahir setelah ia berdoa bertahun-tahun tiada henti kepada Allah, maka sejak kecil Ismail ia rawat, pelihara, dan didik dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, kecintaannya tidak menjadikan sesuatu yang dicintainya sebagai andada (tandingan) akan kecintaannya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah swt:
”Dan, di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah,” [QS Al Baqarah (2): 165].
Akan halnya Ismail, adalah cermin seorang anak yang taat dan patuh kepada orangtuanya, Ibrahim. Ismail adalah produk dan tempaan pendidikan yang penuh cahaya Islam dari orangtua. Sehingga, manakala Allah memerintahkan kepada ayahandanya untuk menyembelih dirinya dan melihat sedikit keraguan dalam diri ayahnya, Ibrahim, Ismail berseru sebagai mana dikisahkan dalam Alquran:
”Wahai ayahandaku, kerjakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati aku — putramu ini — termasuk orang-orang yang sabar [dalam memenuhi perintah Allah],” [QS Ash-Shaffaat (37): 102].
Menyimak hikmah yang terkandung di balik riwayat Nabi Ibrahim dan Ismail, tentunya kurban yang sebagaimana dimaksudkan tidak hanya sebatas aktivitas rutin memotong hewan ternak, sapi atau domba.
Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu [maksudnya, berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang dapat membinasakan musuh serta menghidupkan Islam dan kaum Muslimin. Juga berarti menyeru kepada iman, petunjuk, jihad, dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan di dunia dan akhirat] …” [QS Al-Anfaal (8): 24].
sumber : Pusat Data Republika
Sumber: https://khazanah.republika.co.id/berita/pvy7qk458/idul-adha-dan-keteladanan-dua-nabi