Pelakunya mengatakan dia diberi sejumlah data pribadi yang berbeda (dari internet).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, kasus yang menimpa salah seorang warga Jawa Timur yang ditagih pajak senilai Rp 32 miliar akan diusut. Pria yang disebut sebagai Adi (43 tahun) itu ditagih pajak atas enam usaha yang bukan miliknya.
“Segera polisi bertindak mengusutnya, berkoordinasi dengan Dirjen Pajak dan Kemenkumham, yakni Dirjen Administrasi Hukum Umum karena terkait dengan pendirian perusahaan,” ujar Zudan, Kamis (8/8).
Menurut dia, dari koordinasi itu, bisa dibuka akta pendirian perusahaan. Zudan menegaskan, data yang diduga dipalsukan belum tentu bersumber dari data Dukcapil Kemendagri. Sebab, data kependudukan warga sudah tersebar di mana-mana seperti ketika seseorang menyerahkan data pribadi ke instansi lain atau pihak lain, seperti bank, kampus, asuransi, hotel, hingga klub olahraga.
Di pemerintahan, data kependudukan juga ada di Polri, Pajak, dan KPU. Namun, bukan berarti data-data kependudukan itu dikeluarkan begitu saja oleh pihak tersebut. “Bukan dikeluarkan, melainkan dikumpulkan dan disimpan oleh lembaga lain. Misal, data kita ada di bank, kampus, asuransi, Polri, pajak, di hotel, di klub olahraga, di KPU, dan lain-lain,” kata Zudan.
Zudan menambahkan, Dukcapil tak bisa menjaga data pribadi penduduk yang berada di luar sistem. Zudan pun menegaskan, data kependudukan yang ada di Dukcapil Kemendagri tak ada yang bermasalah.
Seorang laki-laki asal Jatim mengaku terkejut ketika petugas pajak mendatangi rumahnya dan menuduhnya menunggak pajak sekitar Rp 32 miliar. Pajak itu terkait dengan transaksi bisnis enam perusahaan yang menggunakan namanya. Dikutip ABC.net.au, Adi mengaku tidak pernah mendirikan perusahaan atau bahkan meminjam uang.
Ia menduga, data rahasia kependudukan miliknya disalahgunakan pihak tertentu. “Transaksi tersebut melibatkan enam bisnis yang berbeda, mulai dari pertanian hingga tekstil, semuanya,” ujar Adi kepada media Australia itu, Rabu (7/8).
Menurut media itu, ada beberapa titik lemah dalam fasilitas penyimpanan data digital Indonesia yang bisa menyebabkan situasi tersebut. Sebagai contoh, penyimpanan data jutaan warga yang bersifat sensitif, seperti nama, alamat, nomor identitas nasional, nomor file pajak, biometrik, jenis kelamin, dan agama. Apalagi, jika informasi ini dibagikan tidak hanya di antara badan pemerintah, tetapi juga perusahaan swasta tertentu.
ABC memperoleh salinan salah satu surat yang dikirim ke Adi oleh kantor pajak di Banyuwangi tertanggal 23 Mei 2018. Disebutkan, keenam bisnis yang dimiliki Adi diduga bangkrut. Dengan bantuan kantor pajak Indonesia, Adi mengatakan, salah satu pelakunya telah ditemukan. “Pelakunya mengatakan dia diberi sejumlah informasi pribadi yang berbeda (dari internet), dan dia memilih milikku,” kata Adi.
“Orang itu mengaku, telah menggunakan nomor arsip pajaknya sehubungan dengan satu perusahaan, tetapi tidak pada lima perusahaan yang lain, jadi pasti masih ada (pelaku) yang lain,” kata dia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menduga, ada pemalsuan data dalam kasus yang menimpa warga bernama Adi itu. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu mengatakan, harus ada serangkaian proses untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
“Artinya kan ada pemalsuan data ya. Maka harus ada proses pembuktian bahwa yang bersangkutan (Adi) bukanlah orang itu,” ujar Ferdinandus.
Nantinya, kepolisian yang akan mencari tahu siapa sebenarnya otak di balik peristiwa tersebut. Pasalnya, menurut Ferdinandus, Kemenkominfo menilai, persoalan pemalsuan data sudah memiliki dasar hukum pidananya, yakni pasal 32 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016.
“Meski belum ada UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), tetapi di situ (UU ITE) sudah diatur soal larangan mentransfer data pribadi kepada orang yang tidak berhak ya. Kemudian UU ITE telah mengatur sanksi pidananya, baik kurungan maupun denda,” kata dia.
Sanksi pidana yang dimaksud ada di Pasal 48 ayat (2) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016. Aturan ini berbunyi, ”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
“Tapi perlu dicatat bahwa penelusuran dan pembuktian ini nanti akan memakan waktu yang panjang,” kata dia. n mimi kartika/dian erika nugraheny, ed: ilham tirta
Sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/pvy70t415/tak-punya-usaha-emkok-embisa-seseorang-ditagih-pajak-32-miliar