Berita Seputar Teknologi, Kesehatan dan Olah Raga

Pages

Editorial: Asap Semakin Pekat, Kebijakan Malah Jalan di Tempat

KIBLAT.NET – Asap semakin pekat, kebijakan malah jalan di tempat. Ungkapan tersebut mungkin pas untuk menggambarkan situasi yang terjadi antara kebakaran hutan di sebagian wilayah Kalimantan dan Sumatera dengan kebijakan yang diambil pemerintah pusat.

Kebakaran hutan pada musim panas 2019 ini telah memicu bencana asap yang sungguh membahayakan bagi warga. Berdasar data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indeks Standar Pencemar Udara atau ISPU di Palangkaraya Kalimantan Tengah pada 16 September 2019 mencapai angka 500. Yang artinya, kualitas udara di langit Palangkaraya telah mencapai level berbahaya bagi setiap populasi yang terpapar pada waktu tersebut.

Data yang sama juga menunjukkan bahwa kualitas udara di Pekanbaru, Pontianak, dan Jambi masuk pada kategori tidak sehat, dengan angka ISPU masing-masing 192, 160, dan 129. Dampak kondisi di level ini umumnya penurunan jarak pandang dan penyebaran luas debu yang tentu sangat menyulitkan kehidupan warga yang menghuni wilayah tersebut.

Hitung-hitungan angka ISPU sendiri berdasar pada parameter konsentrasi partikulat PM 10 yang berukuran kurang dari 10 mikron di udara. PM10 merupakan partikel debu dan dia adalah salah satu polutan yang membahayakan sistem pernapasan jika terhisap langsung ke paru-paru serta mengendap di alveoli.

Kualitas udara yang memburuk tentu sangat mengganggu, tidak hanya aktivitas keseharian warga biasa, namun dampaknya akan terasa di semua bidang. Sebut saja dunia penerbangan, seperti diketahui Garuda Indonesia telah mengumumkan pembatalan terhadap lima belas jadwal penerbangan pada 16 hingga 19 September 2019 karena dampak kabut asap di Kalimantan.

Namun di tengah kondisi semacam itu, langkah pemerintah khususnya Pemerintah Pusat justru terkesan lambat, bahkan kebijakannya bisa dibilang jalan di tempat. Presiden Joko Widodo dalam pernyataan terbarunya, justru terkesan menyalahkan Pemerintah Daerah. Jokowi menyatakan bahwa akar permasalahan kebakaran hutan terletak pada kerja sama perangkat-perangkat pemerintah daerah yang tidak efektif serta inisiatif yang tidak maksimal.

Jokowi tidak sepenuhnya salah, karena bencana tersebut memang terjadi di daerah dan memberikan dampak bagi mayarakat yang tinggal disana. Namun yang perlu dicatat adalah perizinan di sektor kehutanan masih menjadi wewenang pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tidak bisa begitu saja melarikan diri dari tanggung jawab dan mengalihkannya ke pemerintah daerah.

Selanjutnya, jika memang hutan-hutan tersebut ternyata dibakar, maka bencana asap yang terjadi kini merupakan kejahatan lintas batas. Maka disinilah peran pemerintah pusat diperlukan dalam penanganan masalah ini.

Jokowi juga terkesan menyederhanakan masalah, bermain-main dengan statistik. Ia menyebut bahwa kebakaran hutan yang kini terjadi tidak lebih besar dari yang terjadi pada tahun 2015.  Namun Jokowi  seolah lupa bahwa terjadi kenaikan titik api secara bertahap di tahun 2017 hingga 2018 dan melonjak drastis di tahun 2019.

Sikap beberapa pejabat pusat pun tak jauh beda, sebut saja Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto yang menyebut peladang sebagai penyebab kebakaran. Temuan dari Wahana Lingkungan Hidup atau WALHI justru sebaliknya, sebagian besar titik api justru berada di lahan milik korporasi. Dengan pernyataannya, Wiranto malah terkesan sedang mengalihkan isu terkait siapa yang sebenarnya bertanggung jawab

Begitu pun dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dia malah tampak seperti menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi. Melalui cuitan di akun Twitternya, Moeldoko meminta warga untuk tidak mengeluh dan menjalani musibah dengan ikhlas dan berdoa, tak lupa ia menyebut bahwa segala musibah datangnya dari Allah SWT, musibah bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja.

Segala bentuk pernyataan publik yang nampak tidak pada tempatnya serta gebrakan kebijakan yang tak kunjung terlihat sementara asap semakin pekat mencekik kehidupan di wilayah Kalimantan dan Sumatera, membuat siapapun mungkin akan percaya pada waktunya terhadap cuitan beberapa netizen Negara berflower plus enam dua yang bunyinya, "Habis Dibakar, Terbitlah Sawit".

Sumber: https://www.kiblat.net/2019/09/18/editorial-asap-semakin-pekat-kebijakan-malah-jalan-di-tempat/


close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
KODE DFP 2
KODE DFP 2