DPR saat ini menunggu surat presiden (surpres) terkait revisi UU KPK.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Manager Nasution meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengambil inisiatif mengakhiri polemik revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yaitu dengan tidak menerbitkan surat presiden (surpres) terkait revisi UU KPK.
“Dengan demikian pembahasan revisi UU KPK terdebut tidak bisa dilakukan tanpa surpres. Dalam pandangan sebagian besar masyarakat sipil antikorupsi, revisi UU KPK saat ini belum prioritas dan bukan waktu yang tepat,” ujar Direktur PusdikHAM (Pusat Studi dan Pendidikan HAM) Uhamka kepada Republika, Rabu (11/9).
Manager juga menilai, revisi UU KPK membuat publik luas mengkritik keras langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Dalam pandangan mereka ada beberapa poin dalam draf revisi UU KPK inisiatif DPR itu tidak relevan dengan Piagam Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan dalam draf revisi UU KPK versi DPR itu ada beberapa poin yang dipandang melemahkan KPK.
“Padahal dalam UU KPK, lembaga antirasuah itu tidak boleh berada di bawah pengaruh kekuasaan mana pun. Dengan demikian KPK itu dipastikan tetap independen,” tegas Manager.
Lanjut Manager, saat ini ada baiknya DPR fokus merevisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC. Pasalnya, masih banyak substansi dalam UU 7/206 yang tidak sejalan dengan dengan Piagam Antikorupsi PBB (UNCAC). Setidaknya, terdapat sejumlah poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK versi DPR itu yang memantik pro-kontra di publik.
“Bagi yang pro memandang, di samping usia UU itu sudah cukup lama, juga dikhawatirkan KPK menjadi lembaga ‘tak terjamah’ karena tidak ada yang mengawasi. Bagi mereka revisi adalah solusinya,” terang Manager.
Menurut Manager, mereka yang kontra menilai, bahwa revisi itu diduga memiliki agenda besar untuk mengebiri bahkan mengamputasi KPK. Poin-poin pokok yang dinilai akan melemahkan bahkan mengamputasi KPK. Diantaranya berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan. Kemudian mengenai kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK.
“Juga kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia,” kata Manager.
Sejauh ini, kata Manager, publik khususnya masyarakat sipil antikorupsi menitipkan kepercayaan kepada Presiden. Mereka masih berusaha keras menghadirkan keyakinan bahwa Presiden akan tetap konsisten satu kata dan laku.
“Sebab, Presiden menilai, selama ini lembaga antirasuah sudah bekerja dengan baik. KPK telah bekerja sepenuh hati untuk melakukan pemberantasan korupsi,” tutup Manager.
Presiden Jokowi mengaku hingga kini masih mempelajari draf revisi UU KPK sebelum mengirimkan surat presiden (surpres) ke DPR. Ia mengatakan, baru menerima Daftar Inventaris Masalah (DIM) hari ini.
“Jadi baru saya terima DIM-nya tadi. Baru saya pelajari hari ini. Pelajari dulu. Secepat-cepatnya. Kita ini baru melihat DIM-nya dulu. Nanti kalau surpres kita kirim, besok saya sampaikan. Nanti materi-materi apa yang perlu direvisi,” jelas Jokowi di Jakarta International Expo Kemayoran, Rabu (11/9).
Lebih lanjut, saat ditanya terkait poin revisi UU KPK yang menyebutkan kinerja KPK harus diawasi oleh Dewan Pengawas KPK, Jokowi enggan memberikan pernyataannya lebih lanjut. Kendati demikian, Presiden menekankan agar poin-poin yang tercantum dalam RUU KPK tersebut tak membatasi dan mengganggu kinerja serta independensi KPK.
“Saya ingin melihat dulu DIM nya. Jangan sampai ada pembatasan-pembatasan yang tidak perlu. Sehingga independensi KPK menjadi terganggu. Intinya ke sana,” ujar Jokowi.
Sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/pxnlel409/muhammadiyah-presiden-sebaiknya-tak-terbitkan-surpres