Jakarta – Nico Thomas masih mengingat dengan jelas suasana malam di Bangkok pada 24 Maret 1989. Ketika itu, Nico Thomas bertanding menghadapi petinju tuan rumah, Samuth Sithnaruepol untuk memperebutkan gelar juara dunia tinju kelas terbang mini versi IBF. Sayang, malam itu Dewi Fortuna tak berpihak pada atlet asal Ambon, Maluku tersebut.
Pertarungan ketat yang dilakukan Nico Thomas dengan berpeluh keringat dan darah bercucuran di lantai hanya menyisakan amarah dan kecewa. Perasaan Nico berkecamuk. Air mata membasahi pipinya pertanda ada takdir janggal yang harus diterimanya.
Ya, juri ketika itu mengeluarkan keputusan yang kontroversial. Gelar yang sudah di depan mata sirna karena dalam keputusannya hakim menyebut hasil pertandingan seri secara angka yang berarti usahanya merebut gelar tersebut gagal di tangan petinju Thailand.
“Mereka (hakim) merampok gelar yang sejatinya sudah seharusnya milik saya,” kata Nico Thomas ketika bercerita tentang kariernya saat jumpai Bola.com akhir Juli 2018 silam.
Berbekal dendam membara yang dimiliknya, Nico meminta pertandingan sarat kontroversi itu diulang. Venue pertandingan pun diatur agar digelar di ring tinju Gelora Senayan.
Ditetapkanlah waktu pertandingan akan digelar pada 17 Juni 1989 itu. Artinya, Nico hanya memiliki persiapan yang tak lama, yakni tiga bulan. Dengan dendam yang masih menguasai lubuk hatinya, Nico berlatih dengan sungguh-sungguh.
Menu latihan keras pun diterapkan oleh pelatih Charles Thomas, yang tak lain merupakan kakak kandung Nico. Pagi siang malam amarah itu mengantarkan Nico untuk tak surut berlatih.
“Saya berlatih keras. Kalau belum muntah maka belum berhenti. Untuk menggenjot fisik pun berlatih dengan berlari dari pertama masuk puncak, sampai puncak pass, terus ke Ciloto, sampai ke Cianjur. Saya lari bisa tiga jam,” kenang Nico seraya berapi-api.
Tiba saatnya pada malam pertandingan. Atmosfer pertandingan terasa sampai ke pinggiran ibu kota. Jalanan tak seperti biasaya karena sepi. Pertandingan yang disiarkan secara langsung melalui radio itu sudah mendebarkan sejak awal.
Nico masuk ke ring dengan menggebrak diiringi tarian daerah Maluku, Cakalele. Tarian perang tradisional yang diiringi tabuhan drum dan alat tiup tradisional.
Nico malam itu menggunakan pakaian daerah Maluku memang datang dengan kepercayaan diri tinggi, tentu saja lebih siap dan matang dari pertemuan pertama melawan Samuth Sithnaruepol.
Pertarungan sangat sengit hingga berakhir pada ronde ke-12. Sampai bel terakhir dibunyikan, baik Nico dan Samuth Sithnaurepol masih tangguh di ring. Namun, tiga hakim dalam pertandingan tersebut akhirnya memutuskan Nico yang menjadi juara alias menang angka.
Hakim Luis Race (Hawaii) dan Alec Villacampo (Filipina) kompak memberikan nilai 115-111, sedangkan hakim ketiga asal Jepang, Hideo Arai memberikan nilai 119-108. Nico, pemuda asal Maluku itu akhirnya meraih gelar juara dunia tinju kelas terbang mini versi IBF pada usia 23 tahun.
“Perasaan saya lepas, terharu dan bangga. Para penonton yang ketika itu menonton langsung kegirangan menyambut keputusan hakim. Saya sangat berbahagia dan menuntaskan dendam,” ucap Nico Thomas.