Persoalan infrastruktur merupakan kasus klasik yang terus mencuat di Indonesia
Sempat viral, amblasnya jalan yang mengundang kemacetan di Kelurahan Rawua Kecamatan Sampara, kondisinya kini makin mengkhawatirkan. Pemerintah sama sekali belum melakukan apapun untuk memperbaikinya, padahal kondisi ini sudah berlangsung berminggu-minggu.
Keadaan jalan semakin parah dan ruas-ruas jalan terlihat semakin longsor. Jalan yang tadinya selebar lima meter, kini hanya tersisa dua meter saja. Selebihnya telah terbawa longsor berdasarkan laporan media-media online. Jalan itu kini hanya bisa digunakan satu jalur saja, menyebabkan kemacetan hingga sepanjang tiga kilometer. Pun, para pengendara sangat menyesalkan hal ini.
Miris! Bagaimana tidak, ruas jalan yang rusak hanya dipagari seng dengan kayu, untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan. Meskipun kondisinya rawan kecelakaan dan macet, pengendara tetap melewati jalan itu, karena merupakan satu-satunya akses ke Kabupaten Konawe yang terdekat dari Kota Kendari.
Persoalan terkait infrastruktur di Indonesia merupakan kasus klasik yang senantiasa mencuat seiring bertambahnya usia dunia. Data Subdit Pengembangan Sistem dan Evaluasi Kinerja Direktorat Bina Program Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menampilkan kondisi jalan dengan status permukaan rusak berat mencapai 2,93 persen dari total panjang jalan nasional sepanjang 38 ribu km. Kondisi ini didasarkan pada survei Semester 2 pada 2014.
Indonesia memang masih mencatatkan jalan nasional dengan kondisi rusak berat sepanjang 1.130 kilometer. Mayoritas jalan nasional ini terdapat di Sumatera Utara, Papua Barat dan Papua. Penilaian ini didasarkan pada (International Roughness Index/IRI) atau penilaian terhadap kondisi kerataan permukaan jalan. IRI diukur berdasarkan survei menggunakan alat dan kendaraan khusus. Tidak heran jika penduduk di wilayah tersebut merasa kurang diperhatikan pemerintah. Indikatornya sangat sederhana, kondisi jalan yang tidak layak.
Fakta buruknya infrastruktur merupakan bukti bahwa pengurusan umat di sistem kapitalisme hanya berstandar pada untung dan rugi. Pemerintah seolah berlepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada kontraktor, dimana kontraktor tersebut seringkali mengambil keuntungan lebih tanpa mengedepankan kualitas demi kemaslahatan umat.
Lain padang, lain ilalang. Jika dalam sistem kapitalisme berlaku demikian, maka tidak dengan aturan Islam. Dalam menyediakan layanan publik, khususnya infrastruktur jalan, syariat menetapkan lima indikator: aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, kecepatan dan kenyamanan.
Terkait kewenangan pengelolaan jalan, infrastruktur jalan, Islam tidak terkotak-kotak sebagaimana jalan nasional-provinsi-kabupaten yang ada saat ini. Satu wilayah diurus oleh satu penanggungjawab, sehingga publik tidak dipingpong ketika melakukan pengaduan maupun meminta pertanggungjawaban penguasa tatkala ada jalan yang rusak. Penyelenggara jalan hanyalah satu, yakni Wali/Amil Wilayah yang diangkat oleh Khalifah. Wali/Amil dalam melaksanakan kemaslahatan umat dibantu secara teknis oleh dewan kemashlahatan umum.
Pengirim: Hasni Tagili, Konawe, Sulawesi Tenggara
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Sumber: https://republika.co.id/berita/retizen/surat-pembaca/potis7349/jalan-ambles-makin-mengkhawatirkan-sampai-kapan