KPK juga menuntut hak politik eks gubernur Aceh dicabut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan gubernur Aceh Irwandi Yusuf hukuman 10 tahun penjara. Selain itu, Irwandi juga dituntut membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan atas kasus suap dan gratifikasi yang menjeratnya.
“Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi bersama-sama dan berlanjut,” kata Jaksa KPK Ali Fikri di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/3).
Jaksa meyakini perbuatan Irwandi telah menerima suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi melaui Hendri Yuzal dan Teuku Saiful Bahri. Pemberian suap Rp 1,050 miliar diduga secara bertahap, yakni Rp 120 juta, Rp 440 juta, Rp 500 juta. Selain itu Irwandi juga diyakini menerima gratifikasi mencapai Rp 41,7 miliar yang diduga dilakukan selama menjabat Gubernur Aceh. Sementara masa jabatan Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh terhitung 2 periode yakni 2007-2012 dan periode 2017-2022
Selain hukuman pokok, Irwandi juga dituntut pidana tambahan pencabutan hak politik dipilih selama 5 tahun usai menjalani pidana pokok. “Gubernur Aceh yang diharapkan berperan aktif dalam pemberantasan korupsi. Tapi faktanya terdakwa selama menjalankan tugas menerima suap dan menerima gratifkkasi. Maka sangat tepat bila majelis hakim mencabut hak untuk dipilih dan menduduki jabatan publik,” ujar Jaksa KPK.
“Ciptakan efek jera pelaku dan orang lain. Pencabutan hak dipilih untuk lindungi publik dari persepsi yang salah tentang calon pemimpin yang mengkhianati amanat publik dengan melakukan KKN. Untuk menghindari jabatan publik dari orang yang pernah dijatuhi hukuman karena korupsi, maka perlu dijatuhi hukuman tambahan ini,” tambah Jaksa KPK.
Adapun dalam pertimbangannya, terdapat hal yang meringankan dan yang memberatkan. Untuk hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan selama persidangan, terdakwa mempunyai peran serta penting dan berjasa untuk perdamaian Aceh. Sementara hal yang memberatkan, Irwandi tetap dinilai tak kooperatif dalam membantu jaksa mengungkap kasus suap yang melibatkannya. Irwandi juga tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat giatnya memberantas pidana korupsi.
“Perbuatan terdakwa mencederai tatanan birokrasi pemerintahan dan penegakkan negara yang bersih dan bebas dari korupsi dan kolusi dan nepotisme. Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya,” kata Jaksa.
Selain Irwandi, Jaksa KPK juga menuntut dua terdakwa lainnya dalam perkara ini yakni staf khusus Irwandi, Hendri Yuzal dituntut pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan. Terdakwa lainnya ialah Teuku Saiful Bahri yang merupakan orang kepercayaan Irwandi, dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 5 tahun penjara.
Sebelumnya, Irwandi didakwa menerima suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi melaui Hendri Yuzal dan Teuku Saiful Bahri. Pemberian suap Rp 1,050 miliar diduga secara bertahap, yakni Rp 120 juta, Rp 440 juta, Rp 500 juta.
Menurut jaksa, suap tersebut agar Irwandi mengarahkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Provinsi Aceh memberikan persetujuan terkait usulan dari Ahmadi. Bupati Bener Meriah itu mengusulkan kontraktor yang akan mengerjakan kegiatan pembangunan di Kabupaten Bener Meriah.
Adapun proyek tersebut akan menggunakan anggaran yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus (DOK) Aceh Tahun 2018. Menurut Jaksa, DOK Aceh untuk Kabupaten Bener Meriah sebesar Rp 108 miliar.
Dalam dakwaan, Irwandi juga disebut menerima gratifikasi dua kali. Untuk gratifikasi yang pertama, Irwandi diduga telah menerima gratifikasi Rp 8,7 miliar yang berhubungan dengan jabatannya selaku gubernur Aceh dalam kurun waktu dari 8 Mei 2017 sampai dengan 2018.
Dalam periode itu, Irwandi menerima gratifikasi uang secara bertahap. Pertama, pada November 2017 sampai dengan Mei tahun 2018, Irwandi menerima uang melalui rekening tabungan Bank Mandiri atas nama Muklis sebesar Rp 4,4 miliar.
Kemudian, sekitar Oktober 2017 sampai dengan Januari tahun 2018, Irwandi menerima uang melalui Fenny Steffy Burase sebesar Rp 568 juta dari Teuku Fadhilatul Amri. Penerimaan uang itu setelah ada perintah untuk melakukan transfer dari Teuku Saiful Bahri yang merupakan salah satu anggota tim sukses Irwandi pada Pilkada Gubernur Aceh 2017.
Selain itu, menurut jaksa, sejak April 2018 hingga Juni 2018, Irwandi menerima gratifikasi melalui Nizarli yang merupakan kepala Unit Layanan Pengadaan Provinsi Aceh. Nizarli juga merangkap sebagai Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov Aceh.
Sementara dalam dakwaan gratifikasi yang kedua, Irwandi juga diduga menerima gratifikasi bersama Izil Azhar yang merupakan orang kepercayaannya. Sampai saat ini, Azhar masih masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena belum menyerahkan diri ke KPK.
Bersama Azhar, pada waktu-waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti dari tahun 2007 sampai dengan 2012, Irwandi telah menerima gratifikasi sebesar Rp 32,4 miliar yang bersumber dari dana biaya konstruksi dan operasional proyek pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdaganagan bebas dan pelabuhan bebas Sabang Aceh yang dibiayai APBN. Irwandi juga tidak melaporkannya kepada KPK sampai dengan batas waktu 30 hari terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Menurut Jaksa, perbuatan Irwandi menerima hadiah dalam bentuk uang tersebut haruslah dianggap suap. Sebab, hadiah itu berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban serta tugas terdakwa selaku gubernur Aceh.
Untuk kasus suap, Irwandi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi joPasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Sementara untuk dakwaan dua gratifikasinya, Irwandi didakwa melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/poyi2c430/kpk-tuntut-eks-gubernur-aceh-10-tahun-penjara