Pamekasan (ANTARA) – Madura merupakan daerah yang masyarakatnya agamis, sehingga dikenal sebagai kota santri. Sebutan ini sangat beralasan karena lembaga pesantren yang ada di pulau itu menyebar luas di empat kabupaten.
Hampir setiap kecamatan yang ada di Pulau Garam tersebut terdapat lembaga pendidikan pesantren, baik yang tergolong besar dengan jumlah santri mencapai ribuan orang, pesantren sedang dengan jumlah santri ratusan orang, maupun pesantren kecil yang jumlah santrinya hanya puluhan orang. Kondisi itu, bahkan menjadi identitas dan kebanggaan.
“Madura adalah santri” merupakan jargon yang hingga kini masih digunakan klub sepak bola profesional Madura United FC. Diperkiraan tidak kurang dari 1000-an lembaga pesantren berada di Madura, mulai dari Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan hingga di kabupaten paling timur Pulau Madura, yakni di Sumenep. Pandangan mayoritas masyarakat Madura tentang pesantren, adalah lembaga “suci”, yakni lembaga pendidikan yang fokus pada pendidikan agama, seperti belajar Alquran, fiqih, dan ilmu keagamaan lainnya.
Pemimpin lembaga adalah orang berpengaruh. Disamping harus memiliki wawasan cukup di bidang agama Islam, ia juga dituntut bisa berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat, bahkan tokoh panutan masyarakat. Memang, pada awalnya, pesantren merupakan lembaga tertutup (eklusif), karena hanya fokus pada bidang pendidikan agama. Ilmu pengetahuan lainnya, seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya, dipandang kurang penting untuk diajarkan kepada santri, karena hanya menyangkut urusan duniawi, dan tidak berkaitan sama sekali dengan kepentingan akhirat.
Namun, seiring dengan perkembangan waktu, pesantren-pesantren yang ada di Madura mulai membuka diri. Politik dianggap sebagai strategi dakwah, dan perbaikan sistem dalam tata kelola pemerintahan apabila para politisi berakhlaq mulia bisa masuk mewarnai, bahkan menentukan arah kebijakan politik pemerintah.
Landasar pemikiran ini yang mendasari pesantren mulai membuka diri, dan tidak sedikit di antara kiai pengasuh pondok pesantren terjun secara langsung di dunia politik dengan menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif. KH Kholilurrahman dari Pondok Pesantren Matsaratul Huda Panempan, Pamekasan, dan Baddrut Tamam dari Pondok Pesantren Sumber Anyar, Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, merupakan beberapa dari keluarga dan pengasuh pesantren yang terjun secara langsung di dunia politik.
Namun demikian, keterlibatan pengasuh dan keluarga pesantren dalam dunia politik, hanya sebagian saja. Sebagian yang lain masih tetap fokus dalam bidang pendidikan, dan keagamaan, tanpa bergabung dengan salah satu partai politik manapun atau terlibat secara langsung dalam dunia politik praktis.
Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Bata-bata, di Desa Panaan, Kecamatan Palengaan, Pamekasan, yang kini diasuh RKH Tohir Zain Abd Hamid serta Pondok Pesantren Nurul Iman di Kelurahan Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, asuhan KH Muhellis Asrory, merupakan sebagian pesantren yang memilih untuk tidak bergabung dengan partai politik dan memilih netral. Pesantren seperti Darul Ulum Banyuanyar dan Al-Mujtama’ Plakpak, Pegantenan, terkesan sebagai pesantren partai tertentu, karena pengasuh di dua lembaga itu menjadi pengurus partai.
Kondisi pesantren di Kabupaten Pamekasan yang netral malah menjadi tumpuan, bahkan rebutan bagi para calon untuk mendapatkan dukungan dari tokoh atau pengsuh pondok.
Pondok Pesantren Nurul Iman asuhan KH Muhellis Asrory merupakan pondok pesantren yang tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan dukung mendukung saat pemilu. Lokasi pesantren ini tidak terlalu jauh dari Kota Pamekasan, yakni di Kelurahan Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, atau sekitar lima kilometer dari pusat kota. Berbeda dengan pesantren pada umumnya, santri-santri yang belajar di pesantren ini adalah santri “cologhan”, yakni santri yang datang ke pondok pesantren hanya saat hendak mengaji atau belajar agama, dan setelah itu, kembali ke rumahnya masing-masing. Sementara di pesantren pada umumnya, santri secara bersama-samamenginap dan tinggal di dalam pondok.
Menurut KH Muhellis Asrory, meskipun tidak terlibat secara langsung dalam dunia politik, pengasuh pondok pesantren harus paham akan dunia politik, karena Nabi Muhammad sebagai teladan dan panutan umat Islam juga sebenarnya merupakan tokoh dan pelaku politik.
Kiai Muhellis menuturkan, saat ini sudah banyak dari kalangan pondok pesantren yang terjun secara langsung di dunia politik, bahkan KH Maruf Amin yang saat ini menjadi Calon Wakil Presiden Republik Indonesia juga dari kalangan pesantren. Ia menyatakan, banyak para kiai, “lora” atau putra kiai yang terjun di dunia politik merupakan kesadaran mereka akan pentingnya memperjuangkan agama melalui jalur politik. “Selama ini, di Madura pilihan masyarakat memang cenderung berorientasi pada tokoh atau kiai. Apa yang dipilih kiai, juga menjadi pilihan masyarakat. Santri biasanya memilih apa yang menjdi pilihan kiai. Tapi ini tidak semua, ada pesantren yang menghormati pilihan berbeda para santrinya,” kata Kiai Muhellis.
Pondok Pesantren Nurul Iman merupakan pesantren yang memberikan ruang terbuka bagi santrinya untuk menentukan pilihannya, selama calon yang dipilih memiliki visi dan misi yang jelas, tentang Islam dan syiar Islam. Oleh karenanya, setiap ada pertemuan dan pengajian keagamaan, keluarga pondok Pesantren Nurul Iman selalu menekankan pentingnya menghargai perbedaan pilihan di kalangan masyarakat, dan pentingnya pelaksanaan pesta demokrasi yang berlangsung dengan aman, damai, tapi jujur dan demokratis.
Bagi keluarga Pesantren Nurul Iman, pemilu hanyalah ikhtiar politik dalam berupaya menentukan arah masa depan bangsa yang lebih baik. Beda pilihan merupakan sebuah kenicayaan yang harus dihormati, karena saat ini sudah banyak tokoh agama yang mencalonkan diri dari partai politik berbeda.
“Islam ini agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Jangan hanya karena beda pilihan, kita lalu bertengkar dengan sesama, tetangga, saudara, dan teman dekat kita,” kata khotib di Masjid Pesantren Nurul Iman KH Fathor Rozi saat menyampaikan khotbah Jumat, beberapa hari lalu.
Bagi penyelenggara dan pengawas pemilu di Kabupaten Pamekasan, keberadaan pesantren dinilai sangat membantu mereka dalam ikut mewujudkan tata laksana pemilu yang sesuai harapan. Oleh karenanya, pesantren selalu menjadi sasaran sosialisasi bagi penyelenggara pemilu di Kabupaten Pamekasan, baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pamekasan.
Setiap kegiatan sosialisasi, penyelenggaran pemilu di Pamekasan pasti menjadikan pesantren sebagai jujukan, seperti yang disampaikan komisioner KPU Pamekasan divisi sosialisasi Abdus Said.
Abdus menyatakan, jumlah pemilih potensial yang ada di pesantren merupakan pertimbangan para penyelenggara pemilu untuk menjadi sasaran sosialisasi, guna meningkatkan partisipasi pemilih pada pemilu yang kali ini akan digelar 17 April 2019, selain pentingnya menggugah peran aktif pengasuh pesanten dalam ikut mewujudkan terlaksananya pemilu yang aman, damai, jujur dan adil.
“Sebab, bagi kami, pesan-pesan bertuah pengasuh pesantren dalam mewujudkan pemilu damai, sesuai dengan harapan semua pihak adalah sangat penting,” kata Said.
Dalam menyampaikan sosialisasi ini, KPU tidak melihat keberpihakan pengasuh pesantren kepada partai dan calon yang didukung, akan tetapi, pada efektivitas keterlibatan secara aktif dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilu 17 April 2019. Mengenalkan jenis surat suara, seperti surat suara untuk DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD, serta surat suara untuk Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan materi pokok yang diperkenalkan KPU setiap kegiatan sosialisasi ke pondok-pondok pesantren yang ada di Pamekasan. Demikian juga para calon legislatif yang hendak dipilih, serta sistem mencoblos yang sah, menjadi fokus utama sosialisasi KPU Pamekasan.
“Jadi, kita tidak melihat pesantre A mendukung partai B atau capres/cawapres B. Bagi kami yang penting mereka paham dan mengerti serta berperan aktif dalam menggunakan hak pilihnya dengan benar,” kata Said.
Hal sama juga menjadi pertimbangan Bawaslu Pamekasan. Menurut komisioner Bawaslu Pamekasan Sukma Umbara Tirta Firdaus, pertimbangan lembaga pesantren sebagai lembaga kegamaan yang memiliki komitmen pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, menjadi pertimbangan utama dalam menyosialisasikan dan menggugah kesadaran pihak pesantren ikut melakukan pengawasan partisipatif atas terselenggaranya pemilu yang demokratis, jujur dan adil.
“Orientasi pada nilai baik dan kejujuran ini yang menjadi pertimbangan kami harus masuk ke lembaga pesantren dan menggugah mereka untuk ikut berperan aktif melakukan pengawasan,” katanya.
Jumlah pengawas yang terbatas, kata dia, merupakan pertimbangan utama Bawaslu dalam mewujudkan pola pengawasan partisipatif yang melibatkan kalangan pondok pesantren. Hal itu bisa dilakukan, apabila hubungan pesantren dengan lembaga pengawas, baik Bawaslu, Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) dan petugas pengawas lapangan (PPL) terjalin dengan baik.
Baik KPU maupun Bawaslu Pamekasan mengakui, pesantren yang ada di daerah itu maupun di tiga kabupaten lain di Madura, seperti di Bangkalan, Sampang dan Sumenep, kini telah terbuka, seiring banyaknya para kiai dan lora yang terjun di dunia politik praktis, kendati melalui partai politik yang berbeda.
Sebagai lembaga bertuah, dan pengasuhnya menjadi panutan masyarakat, tentu pesan dunia pesantren, akan ikut menentukan sukses tidaknya penyelenggaraan pemilu, khususnya dalam meningkatkan partisipasi pemilih.
Oleh Abd Aziz
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Sumber: https://www.antaranews.com/berita/816774/pemilu-di-madura-berharap-tuah-dari-kalangan-pesantren