KIBLAT.NET – Capres petahana Presiden Joko Widodo telah mengumumkan kemenangan secara sepihak dalam kontestasi pemilu presiden kali ini berdasarkan perhitungan cepat atau Quick Count sejumlah lembaga survei. Tak lama setelah itu, capres penantang Prabowo Subianto juga mendeklarasikan kemenangan, termasuk menyatakan protes karena adanya banyak kecurangan di berbagai tempat.
Deklarasi Kemenangan Picu Ketegangan
Situasi ini memicu ketegangan dan kekhawatiran banyak pihak yang kemudian membuat pejabat-pejabat keamanan dan banyak analis memperingatkan potensi akan terjadinya kerusuhan massa terkait sengketa hasil pemilu di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia tersebut.
Pada hari Kamis (18/04), publikasi masif di stasiun-stasiun TV swasta mengenahi hasil-hasil penghitungan suara tidak resmi atau Quick Count oleh beberapa lembaga survei swasta memberikan angin segar bagi petahana Presiden Joko Widodo di angka 55 persen, memimpin 10 persen di atas rivalnya seorang jenderal purnawirawan Prabowo Subianto.
"Kita semua tahu bahwa kalkulasi Quick Count merupakan metoda penghitungan berdasarkan sains. Dari pengalaman pemilu kita sebelumnya, akurasi (Quick Count) adalah 99,9 persen, hampir sama dengan hasil Real Count," kata Joko Widodo meyakinkan. Namun demikian, ia meminta para pendukungnya menunggu hasil resmi KPU untuk mengkonfirmasi deklarasi kemenangan tersebut.
Merujuk pada event pilpres sebelumnya, hasil polling beberapa lembaga penyelenggara Quick Count ini bisa jadi cukup kredibel. Namun apabila melihat hasil prediksi hitungan cepat lembaga-lembaga survei yang sama dalam pilkada di Jakarta 2017 lalu menunjukkan hasil sebaliknya. Fenomena ini membuat masyarakat mulai berfikir kritis apakah Quick Count itu murni sebagai sebuah metoda statistik berdasarkan sains yang tujuan awalnya untuk membantu "meluruskan" hasil penghitungan riil (Real Count), ataukah sudah menjadi alat baru untuk mempengaruhi opini publik melalui sebuah rekayasa sosial.
Di kesempatan berikutnya, kepada awak media Presiden Joko Widodo mengaku menerima telepon berisi ucapan selamat dari 22 kepala negara dan pemerintahan, termasuk Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Presiden Turki President Recep Tayyip Erdogan. Jokowi juga mengaku telah mengundang rivalnya, Prabowo Subianto, untuk bertemu. Jokowi memang tidak secara eksplisit menyatakan mendapat ucapan selamat dari para kepala negara dan pemerintahan asing atas kemenangan dirinya, namun bagi sejumlah elit yang tergabung dalam tim suksesnya ini merupakan amunisi baru yang bisa digunakan sebagai entry-point untuk masuk ke isu bahwa Jokowi menang.
Sejumlah media di Eropa, Amerika, dan Timur Tengah sempat membuat laporan kemenangan Jokowi. The Washington Post edisi 17 April merilis judul "Hasil awal menunjukkan Presiden Indonesia Joko Widodo akan kembali terpilih." Sejumlah media lain seperti Reuters, New York Times, dan Arabian Sky News yang berbasis di Uni Emirat Arab juga membuat laporan dengan judul senada.
Indikasi Kecurangan di Berbagai Level Daerah
Hanya berselang beberapa menit setelah Jokowi mendeklarasikan kemenangan, di tempat terpisah Prabowo Subianto tiba-tiba muncul mendeklarasikan kemenangan dan menyatakan timnya memiliki bukti-bukti kecurangan. Prabowo mengklaim menang 62 persen suara pemilih menurut hasil penghitungan internal. "Kami telah mendeklarasikan kemenangan karena kami punya bukti adanya kecurangan di mana-mana baik di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten di seluruh Indonesia," kata Prabowo didampingi pasangan cawapresnya, Sandiaga Uno.
Dalam pilpres tahun 2014, Prabowo juga mengklaim kemenangan sebelum hasil akhir secara resmi diumumkan, termasuk upaya gugatan ke Mahkamah Konstitusi, yang akhirnya memenangkan Joko Widodo. Juru bicara Prabowo mengatakan akan mengajukan gugatan ke MK apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan Jokowi sebagai pemenang.
Opini Media
Sebelumnya, KPU mengatakan di situs resminya bahwa untuk sementara posisi Jokowi sudah aman di angka 50 persen suara pemilih dan Prabowo 45 persen berdasarkan perhitungan di 808 TPS dari 800.000 lebih TPS yang ada.
Koran lokal berbahasa Inggris The Jakarta Post menulis besar-besar di halaman depan headline-nya "Five More Years" di bawah poster Jokowi.
Sementara Alexander Raymond Arifianto, seorang analis politik dari S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura mengatakan margin kemenangan Jokowi menunjukkan bahwa klaim oposisi terkait kecurangan pemilu lemah. Tetapi Arifianto mengingatkan pendukung-pendukung Prabowo, termasuk para alumni gerakan 212 akan turun ke jalan apabila tidak puas dengan hasil pemilu.
"Jadi Prabowo (barangkali) tidak ada masalah, tetapi para pendukungnya dari kalangan garis keras dan alumni 212 bisa membuat Jokowi pusing jika misalnya besok atau dalam beberapa pekan ke depan mereka turun ke jalan," katanya menambahkan.
Berbeda dengan Alexander Raymond Arifianto, seorang pengamat internasional, Hasmi Bakhtiar yang tengah mengambil studi S2 Hubungan Internasional di Lille Perancis menilai deklarasi kemenangan Prabowo sebagai langkah yang tepat dan mampu mempengaruhi sikap dunia internasional. Menurutnya, para pemimpin dunia akhirnya tidak buru-buru mengakui kemenangan Jokowi berdasar hasil Quick Count.
Kubu 02 Rayakan Kemenangan
Jubir Alumni 212, Novel Bamukmin, sebelumnya mengatakan mereka berencana akan menggelar aksi damai setelah Sholat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta. "Kami hanya ingin melakukan sujud syukur sebagai rasa terima kasih atas kemenangan," kata Bamukmin. Beberapa tahun terakhir ormas-ormas Islam telah unjuk kekuatan dengan mengerahkan ratusan ribu hingga jutaan pendukung mereka. Sejak akhir 2016, aliansi ormas-ormas berbasis Islam ini menggelar aksi protes besar-besaran yang dipicu kasus penistaan Al-Quran oleh mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama.
Menyusul rencana Bamukmin menggelar acara selebrasi tersebut, polisi merespon dengan menebar ketakutan akan mengambil tindakan tegas terhadap kegiatan pengerahan massa yang berpotensi mengganggu keamanan. "Saya mohon kepada siapa saja untuk tidak melakukan mobilisasi massa, baik itu untuk merayakan kemenangan maupun karena merasa tidak puas," kata Kapolri Tito Karnavian.
Rencana kubu Prabowo untuk merayakan kemenangan di Monas setelah Sholat Jumat di Masjid Istiqlal akhirnya batal dilaksanakan, namun agenda merayakan kemenangan tersebut tetap dilaksanakan di rumah Prabowo di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Hindari Anarki
Sebagian pihak melihat ditemukannya banyak kasus kecurangan di lapangan, termasuk kesalahan input data oleh KPU sebagai tindakan yang tidak terjadi begitu saja. Alasan human error yang disampaikan Ketua KPU Arief Budiman dianggap janggal karena memiliki pola tertentu dan berulang. Berbagai kasus kontroversial inilah yang dikhawatirkan memicu ketidakpuasan publik yang berpotensi mengarah kepada tindakan kekerasan dan kerusuhan massa.
Dalam konpers yang sama bersama Kapolri Tito Karnavian, Menkopolhukam Wiranto menyerukan kepada segenap masyarakat untuk menghindari "tindakan anarkhi yang bisa melanggar hukum." Wiranto menambahkan aparat keamanan akan mengambil tindakan secara tegas terhadap siapa saja yang mengancam keamanan dan ketertiban.
Jokowi, Demokratis atau Otoriter?
Indonesia dianggap sebagai sebuah negara demokrasi di Asia Tenggara di antara negara-negara lain yang masih otoriter, dan diprediksi akan masuk di antara kekuatan ekonomi terbesar dunia pada tahun 2030. Sejumlah pihak menganggap Jokowi sebagai tokoh yang akan memperkuat arus demokratisasi terutama di Indonesia. Namun menurut Jacqui Baker, seorang doktor PhD Politik Komparatif di Universitas Murdoch, Perth – Australia Barat, menggambarkan Presiden Joko Widodo sebagai seorangdevelopmentalist. Hal itu menunjukkan ketidaksabaran Jokowi terhadap kompleksitas hukum dan cenderung mengekang kebebasan.
Seorang akademisi Universitas Nasional Australia (ANU), Eve Warburton, mengembangkan gambaran ini dengan memberi catatan "orientasi kaum ideologis nasionalis statis" di dalam pemerintahan Jokowi melihat pentingnya sebuah negara yang kuat dan iklim politik yang stabil untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi. Warburton mengutip penilaian Burhanuddin Muhtadi bahwa "Jokowi tampaknya menganggap sektor non-ekonomi sebagai sektor sekunder, atau hanya dipakai sebagai instrumen untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat ".
Analisa-analisa semacam itu menunjukkan bahwa Jokowi bertindak dengan cara pendekatan yang anti-kebebasan dan anti-demokrasi. Ini merupakan akibat dari sebuah kepekaan politik yang sempit, cara berfikir jangka pendek, dan seringnya melakukan proses pengambilan keputusan secara ad hoc.
Pemilu di Indonesia kali ini merupakan peristiwa politik yang melibatkan logistik dalam jumlah besar dengan 193 juta orang yang memiliki hak pilih, lebih dari 800.000 TPS, dan 17 juta orang terlibat dalam proses pencoblosan. Sejumlah moda transportasi seperti helikopter, kapal/perahu cepat, bahkan kuda digunakan untuk mengirim kotak suara ke tempat-tempat terpencil yang tidak bisa diakses di negara kepulauan terbesar di dunia itu.
Penulis: Yasin Muslim
Sumber: https://www.kiblat.net/2019/04/21/deklarasi-kemenangan-di-tengah-kontestasi-elektoral-indonesia/