Pembentukan tim untuk memantau pemikiran para tokoh adalah langkah mundur demokrasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wacana pembentukan Tim Hukum Nasional oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto menuai polemik. Pembentukan tim yang bertugas memantau ucapan-ucapan para tokoh tersebut dianggap sebagai langkah mundur dalam berdemokrasi.
Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fahri Hamzah, ada semacam situasi yang mulai melupakan makna demokrasi dan kebebasan yang sudah dinikmati selama 21 tahun. Sehingga, ada semacam keinginan untuk kembali ke masa lalu.
“Kita harus menolak dan kita harus melawan lupa karena rezim sensor itu adalah rezim yang sudah kita tinggalkan,” tegas Fahri saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (7/5).
Fahri menegaskan, tidak ada boleh ada sensor terhadap pikiran dan akan berkembang kepada media, dunia perfilman. Bahkan, tidak menutup kemungkinan sensor itu berkembang terhadap buku, karya-karya sastra dan lainnya.
“Ini kita harus tolak. Karena kita sudah melewati masa-masa itu, kebebasan adalah segala-galanya bagi kita, masa depan kita dan alasan bagi pertumbuhan dan kehidupan bangsa kita,” tuturnya
Menurut Fahri, jika negara mengalami kegamangan dan kepanikan dalam mengelola kebebasan maka harusnya, negara memperbaiki kapasitasnya di dalam mengelola kehidupan demokrasi, bukan kebebasannya yang dirampas. Karena, konsep demokrasi di Indonesia dibatasi hanya lima tahun jadi jika sudah tidak sanggup mengelola kebebasan demokrasi maka kekuasan itu yang harus berhenti atau mengoreksinya.
“Jadi jangan dibalik dan jangan mau kembali ke masa lalu,” tegas Fahri Hamzah.
Sebelumnya, Wiranto mengungkapkan, pemerintah akan membentuk Tim Hukum Nasional untuk merespons tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah ke perbuatan melawan hukum. Menurutnya, rongrongan terhadap negara maupun presiden yang masih sah tidak bisa dibiarkan.
“Kita membentuk Tim Hukum Nasional yang akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, siapapun dia yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum,” ujar Wiranto, Senin (6/5).
Namun, pada Selasa (7/5), Wiranto mengklarifikasi pernyataannya terkait pembentukan Tim Hukum Nasional. Tim tersebut dibentuk bukan sebagai badan baru, tetapi sebagai tim bantuan di bidang hukum untuk pengendalian masalah hukum dan keamanan nasional.
Itu bukan tim nasional, tapi tim bantuan di bidang hukum yang akan menyupervisi langkah-langkah koordinasi dari Kemenko Polhukam,” ungkap Wiranto di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa.
Tim itu nantinya, kata Wiranto, akan menjadi tim bantuan hukum yang ada di bawah Kemenko Polhukam. Tim yang akan membantu dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, dan pengendalian masalah hukum dan keamanan nasional.
Tim tersebut akan berisi para profesor, doktor, dan pakar hukum dari berbagai universitas dan lembaga. Mereka akan membantu Kemenko Polhukam untuk memilah tindakan mana saja yang bisa dan tidak bisa dianggap melanggar hukum.
Wiranto menerangkan, saat ini banyak aktivitas-aktivitas yang seharusnya sudah masuk kategori melanggar hukum dan ditindak tetapi tidak ditindak karena jumlahnya yang begitu banyak. Banyaknya jumlah aktvitas itu mempersulit pemilahan secara singkat mana saja yang melanggar dan tidak melanggar hukum.
“Nah kita butuh tim bantuan itu. Bukan berarti secara formal dan secara organisasi kemudian kita abaikan, tidak. Kita memang ada, pemerintah punya lembaga-lembaga hukum yang sudah formal dalam ketatanegaraan Indonesia kan ada,” tuturnya.
Menurut mantan Panglima ABRI ini, tim tersebut akan melihat permasalahan yang ada dari sudut pandang masyarakat, yakni masyarakat intelektual yang memiliki pemahaman terhadap hukum. Berbeda dengan kepolisian, kejaksaan, dan lembaga hukum formal lainnya.
“‘Ayo, coba Anda nilai sendiri aktivitas masyarakat seperti ini sudah melanggar hukum atau tidak?’ Kalau mereka mengatakan, ‘Oke Pak, sudah melanggar hukum itu,’ Oke kita bertindak. Jadi kita kompromikan (dahulu),” terang dia.
Sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/pr53rj409/fahri-wacana-pembentukan-tim-hukum-nasional-harus-ditolak