Kabar mengenai kanker paru disampaikan sendiri Sutopo ke media lewat grup WA.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rr Laeny Sulistyawati*
Ahad (7/7) pagi saya membuka mata dan mengecek telepon pintar saya untuk mengecek notifikasi grup pesan instan Whatsapp (WA), atau email penting mengenai acara liputan, rilis, atau pemberitahuan kantor. Sebenarnya ini kebiasaan harian. Tapi ada satu yang berbeda dan membuat mata saya terbelalak sampai berkaca-kaca menahan tangis.
Saya membaca notifikasi di grup WA MedKom Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2. Kabar itu masuk mengatakan bahwa salah satu narasumber favorit saya (bahkan mungkin banyak wartawan media-media yang meliput kebencanaan) berpulang ke Rahmatullah, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho saat menjalani kanker paru-paru stadium 4B di St. Stamford Modern Cancer Hospital, Guangzhou, China.
Buat saya pribadi, Pak Topo, begitu almarhum biasa dipanggil adalah seorang narasumber yang nyambung, informatif, cepat dalam menginformasikan bencana kepada media. Bencana terjadi sekarang, rilis langsung dibuat sejam atau paling lama dua jam setelah itu.
Tak hanya waktu sehat, bahkan waktu sakit dan menjalani kemoterapi pun beliau masih aktif membuat rilis tentang bencana. Tak peduli pagi, siang, sore, malam, bahkan dini hari saat saya hendak memejamkan mata tidur malam.
Pikiran saya mundur ke belakang empat tahun yang lalu, saat itu saya baru ditempatkan di desk kesejahteraan rakyat termasuk meliput bencana. Masih teringat jelas di ingatan saya, saat itu redaktur meminta saya untuk mewawancarai profil dan kinerja almarhum karena akan dimuat satu halaman. Setelah mendapatkan nomornya, saya langsung membuat janji dengan almarhum untuk wawancara.
Pak Topo langsung menjawab pesan singkat saya dan kami pun bertemu di kantornya. Waktu itu belum ada Graha BNPB di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, kantornya masih di Jalan H Juanda, Jakarta Pusat. Singkat cerita setelah diwawancara, Pak Sutopo cerita ke saya sudah sejak 2010 menjadi juru bicara BNPB. Saat saya bertanya ke beliau apakah bosan, ia dengan tegas menjawab tidak. Katanya, karena pekerjaan ini adalah hobinya.
Dia juga bercerita panjang lebar mengenai kuliahnya di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), kemudian melanjutkannya di strata dua dan strata tiga di Institut Pertanian Bogor (IPB). Beliau juga menceritakan pangkatnya sebagai pegawai negeri sipil yang sudah mencapai standar tertinggi IVE.
Yang membuat saya salut, beliau tak hanya memamerkan kepandaiannya dan kecepatannya dalam memberitakan informasi kebencanaan, Sutopo juga meminta saya melanjutkan pendidikan saya lebih tinggi dan tidak cepat berpuas diri.
Pak Topo memang ramah dan cekatan dalam menjawab pertanyaan maupun kebutuhan semua media, tidak peduli media lokal, nasional, atau internasional. Pak Sutopo sebisa mungkin menjawab pertanyaan tanpa tebang pilih.
Tetapi tak lama kemudian masuklah teknologi pesan WA maka dibentuklah grup WA MedKom Bencana 2 dan saya dimasukkan sebagai anggota grup dan adminnya Pak Sutopo. Saya intip anggota grup dan mereka berasal dari berbagai media, baik cetak, dalam jaringan, TV, radio, dari yang media ternama sampai media yang membuat saya mengernyitkan dahi karena baru mendengarnya. Tetapi itulah Pak Topo, almarhum memang ramah dan tidak membedakan media.
Kalau ada yang bertanya mengenai kebencanaan di grup maka tak sampai menunggu beberapa belas jam langsung dijawab oleh Pak Sutopo. Kalaupun belum tahu kepastiannya, beliau punya jawaban sementara. “Sebentar saya tanyakan dulu ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) atau instansi terkait”.
Pak Sutopo tahu, media dikejar deadline yang harus cepat mendapatkan berita karena itu beliau langsung sigap dan cepat mencari informasi yang akurat tak peduli siang atau malam. Begitu mendapatkannya, Sutopo langsung mengirim data-data bahkan tak jarang berita jadi. Ini sangat membantu untuk pewarta media online maupun cetak untuk tinggal menggunakan rilis tersebut, hanya beberapa paragraf yang perlu diedit.
Kalau itu bencana besar dan butuh update, ia mengundang wartawan untuk konferensi pers di kantornya dan secara berkala mengirim update beritanya. Saya akui, Pak Sutopo memang tipikal pegawai negeri sipil (PNS) yang kerja untuk rakyat dan media. Beliau benar-benar tahu posisinya dan tak mau hanya sekadar Asal Bapak Senang (ABS).
Kanker Paru-paru
Sampai di akhir 2017, Pak Sutopo sendiri yang membuat pengumuman di grup WA yang mengejutkan dan membuat saya dan teman-teman terkaget-kaget dan sedih. Saat itu Pak Topo meminta doa kesembuhan karena dokter mendiagnosa menderita penyakit mematikan, kanker paru-paru. Tak tanggung-tanggung, Sutopo disebut telah mengidap kanker paru-paru stadium IV.
“Padahal saya tak merokok,” kata Sutopo di grup saat itu.
Sontak kami para jurnalis termasuk saya mendoakan beliau, menyemangati beliau agar tetap kuat dan berobat ke dokter. Saya sempat berpikir, intensitas update bencana maupun kabar beritanya akan sedikit terhambat karena Pak Sutopo yang menderita penyakit mematikan itu dan harus berobat.
Tetapi saya salah, Pak Topo masih intens dan cepat memberitakan kabar yang benar mengenai bencana. Kalaupun ada sedikit kendala, almarhum meminta maaf dan mengaku harus menghadap dokter atau sedang menjalani kemoterapi. Loyalitas tanpa batas Pak Sutopo memang terbukti tanpa batas.
Semua pertanyaan saya baik lewat jaringan pribadi di Whatsapp, telepon, dijawab oleh Pak Sutopo. Bahkan, pada Februari 2018 lalu Pak Topo mengundang media menghadiri konferensi pers evaluasi bencana 2017 dan prediksi bencana 2018.
Saya ditugaskan untuk meliput ke sana. Saya pikir bukan Pak Sutopo yang menjadi narasumber dan mempresentasikan bahan-bahan materi tetapi saya salah besar. Saya kaget ketika resepsionis mengatakan Pak Topo yang hadir dan itu benar terjadi. Pak Topo sempat meminta maaf karena datang terlambat karena baru periksa dari dokter. Tentu kami semua para kuli tinta memaklumi bahkan meminta Pak Topo jangan terlalu memforsir kondisinya.
Pak Topo kelihatan kurus, pipinya terlihat tirus. Tetapi itu tak menyurutkan semangatnya, dengan gaya bicaranya yang khas, dia masih mempresentasikan rangkuman bencana dan prediksinya. Selesai presentasi, sesi tanya jawab dimulai dan Pak Topo dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Padahal saat itu durasi konferensi pers tidak sebentar, sekitar dua jam dan beliau tetap berdiri menjawab pertanyaan media dengan sabar. Termasuk menjawab pertanyaan saya. Sutopo ternyata masih ingat saya dan beliau bicara saya adalah salah satu wartawan yang suka ngotot. Di akhir acara, pak Sutopo bercerita kepada rekan-rekan jurnalis termasuk saya mengenai perasaannya divonis dokter mengidap penyakit itu.
Sutopo mengaku heran karena dia bukanlah penghisap tembakau dan tidak merasakan apa-apa. Tetapi ia mengakui seringkali hadir di rapat bersama peserta yang menghisap rokok. Dia pun menjadi perokok pasif yang menghirup asap rokok.
Sutopo ketika itu mengaku cepat lelah. Ia curhat bajunya yang kedodoran karena berat badannya yang turun.
Ia juga menceritakan hancurnya perasaannya saat menderita kanker padahal anak-anaknya masih kecil dan sekolah. Belum ada yang menikah. Apalagi dokter memprediksi usianya takkan panjang.
“Dokter memperkirakan saya bisa bertahan hidup di bawah lima tahun,” ujarnya.
Teman-teman dan saya khususnya iba sekali mendengarnya dan kami mendoakan Pak Topo. Tetapi Pak Topo tetap tegar dan tak ada tangis. Almarhum juga masih menjalankan kewajibannya seperti biasa, ketika terjadi bencana tak berselang lama kemudian memberitakan di grup.
Padahal kondisinya terus memburuk tetapi beliau masih intens dan tidak cengeng. Semua kabar bencana selalu cepat diumumkan. Masih teringat jelas ketika gempa besar di Nusa Tenggara Barat (NTB) Juli 2018 lalu rutin di-update oleh Pak Topo.
Bahkan pak Topo mengadakan konferensi pers setiap hari pascabencana NTB. Padahal durasi konferensi pers itu tidak sebentar, dua jam setiap pertemuan. Butuh fisik yang prima. Pak Topo yang tengah sakit tetap berdiri dan menjawab pertanyaan.
Bahkan ia sempat bercanda masih menjadi penggemar penyanyi Raisa dan selalu mention akun penyanyi itu tetapi tak pernah dibalas. Tubuhnya memang makin kurus tetapi semangatnya tidak putus. Sutopo bercerita dirinya baru berobat ke dokter tetapi sudah harus menggelar konferensi pers dua jam kemudian.
Ia tetap pantang menyerah menghadapi penyakitnya dan tetap terdepan memberitakan bencana. Bahkan, ketika bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) September 2018. Saat itu ada simpang siur tsunami di Sulteng dan teman-teman media di Jakarta bertanya pada beliau. Saya pun mendapatkan mandat untuk menghubungi BNPB atau BMKG untuk mengonfirmasi.
BMKG belum memberikan pernyataan resmi. Di tengah kebimbangan, saya masih ingat waktu itu pukul 21.00 WIB dan Pak Topo langsung menjawab pertanyaan saya. Membenarkan kejadian tsunami.
Tak hanya media saya, tindakan yang sama juga berlaku untuk media lain. Sungguh saya salut dengan Pak Topo, meski sakit mematikan menyerangnya, ia tak mau menyerah. Karena semangatnya ini membuat Pak Topo terkenal.
Pak Topo juga menjadi pembicara di konferensi pers bencana 2018 dan prediksi bencana 2019. Seperti biasa Pak Sutopo yang menjadi pembicara tunggal dan hanya minta izin duduk setelah hampir 1,5 jam berdiri.
Tokoh Perubahan Republika
Loyalitas tanpa batas ini membuat Republika menilai Pak Topo layak mendapatkan penghargaan. ia dipandang sebagai pahlawan kemanusiaan yang aktif memberitakan bencana meski tengah digerogoti penyakit ganas.
Sebenarnya penghargaan ini bukan pertama kali diraih Pak Topo. Ia juga pernah mendapatkan penghargaan bergengsi media internasional seperti The Straits Times.
Tak hanya mendapatkan penghargaan bergengsi, Sutopo yang saya kenal juga dermawan. Terbukti ketika beberapa bulan lalu Pak Topo mendapatkan WA dari seseorang yang mengaku-aku Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaedi. Saat itu pemilik nomor WA meminta sumbangan uang untuk biaya persalinan istrinya. Awalnya Pak Sutopo sempat hampir percaya dan akan mentransfer uang. Untung almarhum masih berpikir jernih dan mengirimkan WA bertanya ke saya apakah benar itu nomor Irfan.
Saya segera membalas itu bukan nomor atasan dia. Di WA itu juga Pak Sutopo cerita ke saya kalau dirinya sempat dimintai uang oleh oknum wartawan dan diberikan foto istrinya yang sakit. Ia mengaku tak tega dan kemudian memberikan sejumlah uang. Kebaikannya pun hampir disalahgunakan.
Setelah mengenal selama empat tahun saya jadi sadar bahwa terlepas dari sifatnya yang sedikit galak pascasakit, Pak Sutopo memang memberikan yang terbaik yang ia miliki untuk masyarakat dan media. Termasuk sifatnya juga sifat dermawannya kepada sesama.
Tak lama kemudian di pertengahan Juni 2019 lalu saya mendengar almarhum berangkat berobat ke Guangzhou, Cina. Kankernya telah menyebar sampai tulang dan organ vital lain. Kini semua cerita dan perjuangannya yang menginspirasi telah berakhir. Jurnalis dan masyarakat Indonesia sangat kehilangan dan bersedih.
Selamat tinggal Pak Sutopo, kisahmu akan menjadi legenda dan contoh. Semoga engkau mendapatkan tempat terbaik dan husnul khatimah, serta keluarga yang ditinggalkan diberikan kelapangan hati dan kesabaran.
*Penulis adalah jurnalis di Republika.co.id.
Sumber: https://republika.co.id/berita/pua35c328/narasumber-kesayangan-wartawan-itu-telah-berpulang