Banyak orang yang belum tahu soal Appatus Criticus, Quran Warsh dan Quran Hafs
oleh: Moh Ali, Filolog dan Dosen Universitas Airlangga Surabaya.
Kemarin hari Sabtu, kami tidak sengaja bertemu dengan seseorang dari Jakarta yang datang ke De’ Museum Cafe, Malang. Saat itu saya juga di sana. Beliau melihat-lihat berbagai cetakan kitab suci yang terpajang di sebuah etalase berkaca, di antaranya Alkitab Ibrani (Biblia Hebraica Stuutgartensia) dengan versi bacaan yang berupa footnote; teks PB (perjanjian Baru) Yunani dengan varian bacaan juga disertai footnote. Dan yang mengherankan dia, ternyata juga di sana terpajang Qur’an Warsh dan Qur’an Hafsh di etalase tersebut. Namun, teks Quran Warsh dan Quran Hafsh itu tanpa disertai footnote.
Dia melihat-lihat teks tersebut dengan serius, tetapi juga penasaran. Kami berkenalan, dan dia pun menyempatkan bertanya kepada saya. Akhirnya dia bertanya kepada saya tentang hal yang sangat penting kepada saya: “Mengapa ada Quran Warsh dan Quran Hafsh, dan apa bedanya? Padahal pada cetakan Quran tersebut tidak ada varian bacaan yang berupa footnote?”
Maka, saya pun menjelaskan bahwa memang kenyataannya Quran tidak mengenal adanya varian bacaan yang dianggap salah ataupun varian bacaan yang diduga benar. Itulah sebabnya sejak dulu hingga sekarang, cetakan-cetakan Quran tdk mengenal adanya footnote atau “appatus criticus.”
Jadi, varian bacaan berupa “apparatus criticus” pada penerbitan Alkitab Ibrani maupun PB yang terletak pada footnote merupakan fakta tekstual adanya pengakuan tentang “human error” dalam penyalinan teksnya. Namun sebaliknya, meskipun ditemukan adanya varian bacaan pada teks Quran, tetapi varian bacaan itu bukanlah “human error” dalam penyalinan teksnya.
Itulah sebabnya, sejak awal ternyata varian bacaan teks Quran itu tidak dianggap sebagai “apparatus criticus”, yang dicatat pada Mushaf sebagai “footnote.” Artinya, varian bacaan teks Quran itu bukanlah “human error” dalam penyalinan teksnya. Dan inilah sebabnya semua umat Islam hafal semua varian bacaan teks Quran itu serta membenarkannya sebagai teks pewahyuan yang dibenarkan oleh Nabi SAW.
Yang unik, saat beliau kesulitan membedakan ortografi antara huruf waw dan fa’ – dan juga kesulitan membedakan antara ortografi huruf fa’ dan huruf qof dalam teks Quran Warsh.
Akhirnya beliau pun paham, dan sekaligus ingin belajar membaca Quran Warsh yang saya punya, yang saat itu sebenarnya saya bawa utk agenda pertemuan antara murid-murid dan Syekh Imran N Hosein di Jember nantinya.
Sumber: https://republika.co.id/berita/pty2uq385/quran-warsh-quran-hafsh-mengapa-alquran-tanpa-emfootnoteem