Senin, 8 Ramadhan 1440 H / 13 Mei 2019 16:50 wib
23 views
Oleh: M Rizal Fadillah
Rezim goyah akan memasuki fase menentukan. Seperti orang yang tenggelam ia akan mencari apa saja sebagai pegangan. Ia akan menendang apa saja sebagai upaya untuk menyelamatkan diri. Represif adalah fase kritis yang dihadapi rezim. Sejarah politik di berbagai belahan dunia menemukan hal seperti ini. Represivitas bisa sukses untuk melanggengkan bisa pula menjadi fase akhir dari kegagalan atau kejatuhan.
Ketika masih kuat, dikritisi sekeras apapun tenang saja. Toh semua bisa diantisipasi dan dicari solusi. Kekuatan lawan dihitung tak akan menggoyahkan. Banyak opsi untuk mengatasi serangan. Benteng kokoh, pasukan kuat, strategi matang, serta cara memukul mundur yang bisa diatur.
Masalahnya adalah jika ternyata sudah klimaks.
Skenario selalu terantisipasi dan siasat selalu terkuak. Publik peka pada setiap gerak. Salah sikap bisa babak belur hingga wibawa hancur. Muka merah wajah terasa panas. Inilah saat tanda kekuasaan mulai lemah hingga langkah pun goyah. Tak ada jalan selain menyerang sebelum diserang. Anggapannya ini sebagai jalan terakhir dan satu satunya.
Kompetisi Pilpres 2019 telah memakan korban hampir 600 jiwa melayang tanpa jelas sebab dan siapa penanggung jawab. Kuat dugaan salah manajemen. Ditambah dengan tudingan kecurangan. Penjelasan atau argumen kontra tidak cukup kuat.
Akibatnya dugaan kecurangan menjadi terus menggelinding. Pengumuman KPU bukan ditunggu tetapi terasa sudah dilewati. Kepercayaan pada KPU sangat rendah karena memang tak ada indikasi mengarah pada klarifikasi melainkan justru memperkuat legitimasi. Prosedur Bawaslu ditempuh melalui pengaduan yang gencar. Namun belum terasa progresnya. Kini sikap dan tindak lanjut Bawaslu menjadi pertaruhan apakah dapat meredam atau memanaskan.
Fase represif berjalan. Proses hukum tokoh-tokoh dilakukan. Alasan bisa dibuat. Pelapor-pelapor dadakan yang tak jelas kepentingan muncul. Kasus lama dijadikan sebab. Makar jadi delik empuk. Hukum menguat sebagai alat kekuasaan. Bahasa halusnya “dibentuk tim hukum” agar ada koridor untuk menjerat target. Model hukum yang subordinat politik menurut Nonete & Selznick masuk kategori hukum represif yang tujuannya semata ketertiban, diskresi luas dan opportunistik.
Pemimpin dan tokoh diciduk karena rezim gemetar pada gaung “people power”. Sebutan yang sedang disukai rakyat setelah dahulu tagar ganti Presiden. Counter isu seperti pemindahan ibukota tak menarik apalagi soal investasi Cina di program “Silk Road” yang dianggap oleh rakyat sebagai “road to the new colonialism”. Negara dijual atas nama investasi.
Fase represif bukan solusi untuk bangkit akan tetapi kebijakan yang membuat kondisi penguasa serba sulit. Kekerasan pada rakyat hanya menggoreskan luka yang membangun semangat untuk segera menyingkirkan kezaliman. Lazim untuk mempercepat datangnya marhalah akhir yaitu fase ambruk atau tumbang.
Melalui Pemilu sebenarnya sudah terhembus hawa kekalahan. Tapi namanya usaha, selama ada celah ya dibongkar celah itu meski ternyata kemudiannya diketahui bahwa ujung lorong dari celah yang dibuka itu adalah mulut harimau yang menganga. Penguasa yang akan mati dimakan oleh kerakusan kekuasaan. Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!
Sumber: http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2019/05/13/64235/fase-represif/