loading…
OTT kasus yang melibatkan Bupati Talaud Sri Wahyumi ini sebenarnya tidak terlalu istimewa. Menjadi sangat menarik karena Sri Wahyumi ini merupakan kepala daerah yang ke sekian kalinya yang ditangkap KPK. Ada lebih dari 100 kepala daerah yang diproses oleh KPK dalam kasus korupsi selama 16 tahun terakhir. Tentu ini bukan angka yang kecil. Bahkan, yang mengkhawatirkan, intensitas yang ditangkap semakin meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya untuk tahun 2018 saja, 26 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK. Selain Bupati Talaud, tahun 2019 KPK juga sudah menersangkakan sejumlah kepala daerah dalam kasus korupsi baik lewat OTT maupun pengembangan kasus. Salah satunya Bupati Mesuji Khamami yang menjadi tersangka kepala daerah pertama tahun 2019.
Maraknya kepala daerah menjadi tersangka tak lepas dari agresivitas KPK dalam melakukan OTT. Data menunjukkan setiap tahun ada peningkatan OTT yang dilakukan KPK. Misalnya, tahun 2016, KPK melakukan 17 kali OTT, kemudian tahun 2017 meningkat menjadi 20 OTT, dan pada pada 2018 meningkat lagi menjadi 30 OTT.
Baca Juga:
Peningkatan jumlah OTT yang dilakukan KPK memang bisa disebut prestasi tersendiri bagi lembaga antirasuah tersebut. Namun, di sisi lain, banyaknya OTT tersebut juga bisa dimaknai sebagai kegagalan penegak hukum—mulai KPK, Polri, dan kejaksaan—dalam pemberantasan korupsi terutama dalam hal pencegahan. Karena ternyata penegakan hukum kasus korupsi tidak menimbulkan efek jera bagi yang lain.
Dan ini berlaku dalam kasus penangkapan kepala daerah di atas. Ketika sudah ada 100 lebih kepala daerah yang diadili karena terlibat kasus korupsi, masih ada saja yang berani melakukan tindakan tidak terpuji ini. Masih banyak saja kepala daerah yang menilap uang rakyat atau menerima suap. Jangan-jangan apa yang dilakukan para kepala daerah ini sudah menjadi budaya. Dalam arti, hal itu sebenarnya sudah biasa dilakukan oleh para kepala daerah dengan modus dan cara yang serupa tapi tidak sama. Para kepala daerah yang tertangkap KPK ini hanya mengalami nasib sial saja, atau mereka kurang hati-hati dalam melakukan aksinya.
Kasus OTT kepala daerah ini sudah di luar nalar kita. Karena mereka sudah tahu konsekuensi jika tertangkap KPK. Selain karier hancur, mendekam dalam penjara, hingga nama baik seluruh keluarga besar juga dipertaruhkan. Namun, tetap saja mereka berani bermain apa. Ada apa ini?
Kalau kita analisis ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab mengapa para kepala daerah masih berani korupsi. Pertama, vonis hukuman yang ringan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 84,46% hukuman para koruptor selama tahun 2018 sangat ringan. Kalau dirata-ratakan, mereka dihukum sekitar 2 tahun 5 bulan. Jadi, ada tren hukuman ringan bagi para koruptor. Kedua, sistem politik kita yang menjebak mereka harus melakukan korupsi. Untuk menjadi kepala daerah dibutuhkan biaya yang sangat mahal sehingga ketika terpilih mereka setidaknya akan berupaya mengembalikan uang yang telah dikeluarkan untuk pilkada. Belum lagi juga mengumpulkan uang untuk periode keduanya. Mereka pun akhirnya korupsi. Ketiga, gaya hidup hedonis dan mewah yang menjangkiti para kepala daerah. Kalau mengandalkan gaji, jelas tidak akan mungkin terwujud. Mereka pun akhirnya korupsi untuk memuaskan kehidupan gemerlapnya.
Itulah mengapa hingga sekarang ini pemberantasan korupsi secara tuntas masih sulit dilakukan, karena memang aparat penegak hukum kita belum serius melakukannya. Kalau memang serius, mereka harus benar-benar memperlakukan koruptor sebagai penjahat negara tanpa ampun dengan memberikan vonis tinggi kalau perlu hukuman mati. Selama koruptor dihukum ringan, korupsi di negara ini tidak akan bisa diberantas bahkan justru akan semakin marak.
(wib)
Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1400950/16/kepala-daerah-dan-korupsi-1556827975