KIBLAT.NET – Bagi masyarakat Jakarta, jalanan lengang dan pesta kembang api identik dengan lebaran, momen pulang kampung dan libur bersama karena telah tiba hari lebaran. Masyarakat menyambut momen Idul Fitri itu dengan kebahagiaan dan gegap gempita.
Bagi yang balik desa, mereka bisa bertemu dengan keluarga tercinta, sementara yang di Jakarta, setidaknya menikmati lengangnya ibu kota dan sejenak beristirahat dari penatnya ritme kehidupan kota yang disebut "lebih kejam dari ibu tiri" itu.
Namun, momen lengangnya jalanan ibu kota dan pesta kembang api seakan dimajukan di sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Tak harus menunggu bulan Ramadhan usai, hari kelimabelas bulan suci di tahun 1440H ini, jalanan Jakarta lengang, setidaknya di jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Pasalnya, masyarakat yang tidak puas atas penyelenggaran pemilu 2019 mengadakan aksi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat di depan Gedung Bawaslu sejak Selasa (21/05). Kepolisian pun menutup akses jalan MH Thamrin menuju gedung Bawaslu.
Selasa malam itu, jalanan pun menjadi lengang. Bakda Maghrib, para pekerja kantoran keluar dengan wajah sumringah mendapati jalan MH Thamrin kosong melompong, menyisakan satu dua tukang kopi keliling.
Penat seharian di kantor seakan hilang dengan mendapati jalan mereka pulang, kosong. Satu dua pekerja kantoran memanfaatkan momen jalanan kosong ini dengan berswa foto. Tidak sedikit melakukan pose tiduran dan duduk di jalan.
Jalan MH Thamrin, dari Bunderan HI menuju gedung Bawaslu steril dari aksi massa. Hanya ada aparat polisi yang sedang bersiap untuk menjaga di depan gedung Bawaslu. Akibatnya, pekerja kantoran yang akan pulang setelah seharian bekerja, mendapati jalan MH Thamrin kosong, dan masyarakat merasakan hawa yang sejuk pada Selasa malam.
"Enak ya, kayak lebaran," ujar seorang wanita berhijab kuning kepada teman kerjanya.
Selasa itu memang benar-benar aksi damai, tidak ada kericuhan. Setidaknya hingga pukul 21.30, ketika Munarman, salah satu pimpinan FPI membubarkan massa dan berpamitan kepada polisi yang berjaga di depan Bawaslu.
Karenanya, pekerja kantoran di sepanjang jalan MH Thamrin dari Bundaran HI ke gedung Bawaslu tidak ada perasaan mencekam. Bahkan yang ada hanyalah rasa syukur bisa merasakan lengangnya jalanan ibu kota. Hal ini terlihat dari wajah mereka yang sumringah dan tingkah mereka yang memanfaatkan sepinya jalan untuk melakukan swafoto maupun video bersama.
Baru kemudian, pukul 23.30, massa yang berbeda dari peserta aksi Selasa (21/05) siang, disebut memprovokasi aparat kepolisian hingga berakhir dengan kericuhan. Sepanjang jalan Wahid Hasyim ke arah Gondangdia, kericuhan terjadi hingga pukul 04.00 WIB hari Rabu (22/05).
Selama kericuhan terjadi, tembakan gas air mata dari aparat polisi ke massa seakan pesta kembang api. Suaranya keras, beberapa yang ditembakkan polisi memercikkan api dan sekilas menampakkan keindahan dalam kontras gelapnya malam.
Massa pun sempat membuat bakar-bakaran ban di jalan Wahid Hasyim, membuat asap hitam mengepul di jalanan. Suara tembakan dari polisi pun tak kunjung berhenti, hingga radius 300 meter masih terdengar.
Pesta kembang api sesungguhnya baru terjadi keesokan harinya, Rabu (22/05), ketika massa aksi kembali mendatangi Gedung Bawaslu. Mereka sudah menyiapkan masker dan juga pasta gigi untuk menghalau perihnya gas air mata yang ditembakkan aparat.
Massa yang datang, seakan sudah siap jika sewaktu-waktu kembali terjadi kericuhan seperti tengah malam sebelumnya. Terbukti akses untuk wanita dan anak-anak serta orang-orang yang tidak berkepentingan dibatasi. Mereka dilarang untuk memasuki jalan MH. Thamrin dari jalan Kebon Sirih.
Benar, jika hari Selasa kericuhan terjadi ketika massa damai sudah pulang, kali ini kericuhan sudah terjadi antara massa demonstran dengan aparat kepolisian sejak pukul 19.30 WIB. Terpantau, massa mulai memprovokasi kepolisian dengan cara melempar batu ke aparat yang berjaga di depan gedung Bawaslu.
Kericuhan benar-benar pecah ketika massa mulai menembakkan petasan ke arah aparat, lalu disusul pelemparan molotov.
Sontak, massa demonstran mulai tercerai berai ketika aparat mulai menyerang balik dengan petasan dan juga gas air mata. Hampir satu jam terjadi perang petasan antara massa dan polisi. Selain tentunya polisi menembakkan gas air mata yang disambut lemparan batu oleh massa.
Tak hanya melempari polisi dengan batu dan molotov, massa juga menyerang polisi dengan peluru kelereng. Sementara polisi membalas dengan tembakan gas air mata. Seperti latihan perang, mereka menembakkan seluruh peluru yang ada di senjata mereka.
Beberapa kali polisi melakukan refill peluru, berkotak-kotak peluru gas air mata dikeluarkan. Polisi yang masih merasa kurang puas pun mengantre mengambil peluru gas air mata, untuk kemudian menembakkannya ke demonstran.
"Ada peluru lagi gak bro, punyaku habis ini," ujar polisi berbaju hitam dengan logat timurnya.
Massa pun ketika ditembaki gas air mata oleh kepolisian sempat mundur, baik ke jalan Wahid Hasyim arah Tanah Abang atau Gondangdia. Kericuhan 22 Mei 2019 baru benar-benar berhenti ketika matahari mulai menyingsing.
Ramadhan kali ini memang mencekam, setidaknya bagi masyarakat Jakarta. 'Lebaran' yang dimajukan ini bukan membawa kebahagiaan dan disambut gagap gempita, namun dengan penuh ketakutan dan kecemasan.
Bagaimana tidak, jika suara petasan kembang api di hari raya adalah keindahan tersendiri, suara ledakan yang terjadi sejak malam 22 hingga 23 Mei bukan menciptakan percikan warna indah di udara, tapi di jalanan.
Seperti laiknya perang petasan, kembang api itu diarahkan ke manusia, entah massa menembaki polisi maupun sebaliknya. Suara dentuman pun terdengar sangat keras, apalagi teriakan polisi dan massa yang kadang saling bersahutan untuk meluapkan emosi.
Semoga, jelang 10 hari terakhir bulan Ramadhan ini kita bisa memaksimalkan ibadah dan amal shalih. Sehingga lebaran atau Idul Fitri yang sesungguhnya dapat diraih dengan ampunan sesungguhnya, bukan sekedar "permainan" belaka.
Penulis: Muhammad Jundii
Sumber: https://www.kiblat.net/2019/05/24/momen-lebaran-dan-aksi-protes-21-22-mei-2/