Berita Seputar Teknologi, Kesehatan dan Olah Raga

Pages

Prof. Eddy, Postulat Hukum, dan Harapan Masyarakat Indonesia

KIBLAT.NET – Sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden telah rampung. Kita tinggal menunggu hasilnya yang akan diumumkan pada hari Kamis (27/06/2019). Putusan yang akan dibacakan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tentu diharapkan akan menjadi akhir yang baik untuk kegaduhan panjang yang terjadi dalam perhelatan Pilpres 2019.

Banyak hal menarik dalam rangkaian persidangan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden kemarin yang mungkin menjadi wawasan baru bagi mastarakat Indonesia. Salah satunya dari saksi ahli yang didatangkan oleh TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Prof. Edward OS Hiariej.

Prof. Eddy, begitu ia biasa disapa, merupakan profesor pidana dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM). Ketika bersaksi di persidangan, ia menyampaikan beberapa postulat hukum dalam bahasa latin hanya untuk menjelaskan salah satu substansi dalil pemohon yang sedang dia bantah. Ketika Prof. Eddy membacakan postulat-postulat tersebut lah, publik seolah ternganga, seperti sedang mendengar sesuatu yang benar-benar baru, bahkan banyak yang berkomentar bahwa ruang sidang mendadak menjadi ruang kuliah.

Setidaknya terdapat sembilan postulat berbahasa latin yang dilontarkan Prof. Eddy di persidangan. "Setiap mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum telah diajarkan salah satu asas yang berbunyi actori in cumbit probatio. Artinya, siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan," ujar Eddy ketika membacakan postulat pertamanya pada Jum'at (21/06/2019).

Lalu untuk membantah permintaan pihak penggugat yang meminta Majelis Hakim MK untuk menghadirkan sejumlah saksi yang dibutuhkan dalam proses pembuktian sepanjang persidangan berlangsung, Eddy menyebutkan asas probatio qui dicit, non qui negat yang memiliki arti beban pembuktian ada pada orang yang menggugat, bukan yang tergugat.

Eddy juga menyebutkan asas probandi necessitas incumbit illi qui agit yang berarti beban pembuktian dilimpahkan kepada penggugat. Dan semper necessitas probandi incumbit ei qui agit yang berarti beban pembuktian selalu dilimpahkan pada penggugat. Postulat selanjutnya adalah affirmanti, non neganti, incumbit probation yang berarti pembuktian bersifat wajib bagi yang mengajukan bukan yang menyangkal, lalu affirmantis est probare berarti orang yang mengiyakan harus membuktikan. Ada juga reo negate actori incumbit probatio bermakna  jika tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan.

Ada pula asas in genere quicunque aliquid dicit, sive actor sive reus, necesse est ut probat yang berarti siapapun yang membuat tuduhan, baik itu penggugat ataupun tergugat, harus membuktikannya. Saat menilai permintaan penggugat untuk juga membebankan pembuktian kepada tergugat, Eddy menegaskan bahwa hal ini bertentangan dengan asas negativa non sunt probanda. Artinya, membuktikan sesuatu yang negatif adalah tidak mungkin karena bertentangan dengan asas dalam hukum pembuktian.

Saya yakin, hingga paragraf ini, sebagian besar pembaca tak sepenuhnya memahami subtansi dari postulat-postulat hukum tersebut. Untuk menghindari penyalahgunaan dalil, pemahaman akan dalil secara terperinci memang seharusnya menjadi domain para ahli, namun setidaknya masyarakat perlu tahu perihal bagaimana implementasi dalil-dalil tersebut dalam keseharian mereka. Agar masyarakat sadar dan tahu, kapan hukum sedang berjalan dan kapan hukum sedang tidak berjalan. Selain untuk menghindari penyalahgunaan hukum oleh oknum dari pihak-pihak berwenang, bukankah cita-cita untuk mewujudkan negara hukum menjadi lebih mudah ketika masyarakatnya secara umum mengerti hukum atau dalam bahasa mudahnya ketika masyarakatnya tak lagi ternganga ketika mendengar hal semacam kesaksian Prof. Eddy.

Tentu sangat ironis ketika sebagian masyarakat terkaget dan terpikir "oh ternyata ada ya asas hukum semacam itu" justru ketika persidangan soal sengketa Pilpres. Jika kita ingin agak "nakal", kita tentu akan berpikir apa perlu jadi capres dulu ya, untuk menerima kemewahan hukum seperti itu. Sementara hukum seharusnya tidak menjadi barang mewah, dia seharusnya bisa dinikmati oleh siapa saja secara cuma-cuma alias gratis.

Ya, sidang MK telah berakhir, Prof. Eddy telah kembali mengajar, tinggal dua pasangan calon pemimpin negeri ini saja yang masih dag dig dug menanti hasil akhirnya. Namun siapapun pemenangnya, setidaknya harus berterima kasih pada kemewahan hukum yang bisa mereka nikmati. Dan cara terbaik untuk berterima kasih adalah memberikan kemewahan tadi kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Penulis: Rusydan Abdul Hadi

Sumber: https://www.kiblat.net/2019/06/25/prof-eddy-postulat-hukum-dan-harapan-masyarakat-indonesia/


close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
KODE DFP 2
KODE DFP 2