Dari 3.073 bus bus Trasjakarta ada 340 unit yang menggunakan bahan bakar kayu
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dinas Perhubungan DKI Jakarta, saat ini mencatat ada 340 unit bus Transjakarta yang menggunakan bahan bakar gas (BBG) dari total armada sebanyak 3.073 bus. PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) kini tak lagi mengutamakan penggunaan bus BBG.
“Inilah tiga hal yang menjadi dasar kenapa dari sisi korporasi, investasi bus berbahan bakar gas itu last recomended,” ujar Direktur Operasional PT Transjakarta Daud Joseph di Gedung Dinas Teknis, Jakarta Pusat, Senin (1/7).
Ia menjelaskan, dalam tiga tahun terakhir sejak 2016 PT Transjakarta melakukan analisa yang mendalam terkait bus BBG tersebut. Kemudian Daud memaparkan tiga alasan dasar yang membuat bus BBG menjadi rekomendasi terakhir PT Transjakarta dalam berinvestasi penyediaan armadanya.
Pertama, Daud menyebut kelemahan kualitas BBG tidak baik yang didistribusikan oleh Pertamina maupun BUMD milik DKI yakni PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Hal itu berdasarkan surat keluhan yang dilayangkan oleh PT Hino Motors Sales Indonesia selaku penyedia 60 armada bus BBG bagi Transjakarta pada 2016.
“Kualitas BBG yang didistribusikan Pertamina maupun Jakpro sama-sama BUMD kami bersinergi, itu kualitasnya tidak baik,” lanjut Daud.
Daud mengatakan, Hino menyampaikan dalam satu tahun beroperasi tanki bahan bakar gas bus tersebut terdapat banyak endapan residu kotoran yang jumlahnya signifikan. Menurut Hino, residu yang mengendap berbahaya bagi operasional bus itu sendiri.
Bahkan kata Daud, ada kesalahan dalam perawatan yang kurang baik sehingga terjadi beberapa ledakan tanki bus BBG. Sejak itu bus berbahan bakar gas tak diperluas atau diperbanyak penggunaannya.
“Walaupun demikian kami tetap menyikapi secara lewat korespondensi yang intens dengan Pertamina, dengan Jakpro, maupun Hino selaku pabrikan,” tutur Daud.
Ia melanjutkan, berdasarkan informasi harga jual BBG atau compressed natural gas (CNG) Rp 3.100 per liter setara premium (lsp) dinilai tak kompetitif. Oleh sebab itu, Pertamina maupun Jakpro harus melakukan efisiensi secara menyeluruh termasuk tak lagi memfungsikan alat dryer di stasiun pengisian BBG (SPBG) yang menggunakan listrik yang besar.
Padahal lanjut Daud, fungsi dryer ini sangat vital untuk mengeringkan gas dari uap air yang terkandung dalam CNG itu sendiri. Tidak berfungsinya dryer ini memang efisien tetapi rugi bagi pelanggan yang berimbas pada berkurangnya performa kendaraan hingga menimbulkan bahaya.
Apalagi, Daud mengatakan, Transjakarta merupakan transportasi publik yang satu busnya bisa mengangkut 800-100 ribu orang per hari. Sehingga jaminan keamanan harus lebih diperhatikan.
“Kemudian yang kedua, ternyata setelah kami amati konsumsi BBG itu tidak seirit yan tampak di permukaan,” lanjut Dau
Ia membandingkan harga satu liter solar Rp 5.150 dengan satu lsp CNG Rp 3.100. Kendati BBG lebih murah tetapi satu lsp CNG hanya bisa menjelajah jarak 1,1 kilometer. Sedangkan satu liter solar bisa menjangkau jarak 2 kilometer. Sehingga jika dihitung biaya bahan bakar untuk keduanya tak jauh berbeda.
Selain itu, yang ketiga, tutur Daud, harga bus berbahan bakar gas 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan bus berbahan bakar solar. Ia menyebut, bus BBG berkisar antara Rp 1,7 miliar sampai Rp 1,9 miliar tergantung merek, ada yang buatan Jepang dan Eropa. Sementara bus BBG harganya bisa mencapai Rp 2,3 miliar.
Namun, Daud mengatakan, PT Transjakarta masih terbuka dengan berbagai cara agar penggunaan bus BBG yang menjadi salah satu solusi penyediaan angkutan ramah lingkungan menjadi pilihan kembali. Terutama dalam hal keamanan untuk publik dan nilai investasi bagi korporasi.
“Mungkin bisa menjadi tindak lanjut bersama dari dewan yang terhormat di tempat ini untuk bisa memikirkan bagaimana caranya supaya BBG ini menjadi pilihan utama bagi investasi transportasi publik di masa depan,” jelas Daud.
Sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/ptz48v384/ini-tiga-alasan-transjakarta-tak-utamakan-armada-bbg