Besarnya volume impor garam membuat harga jatuh.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jatuhnya harga garam hasil produksi petambak lokal dinilai akibat produksi yang melimpah imbas musim kemarau. Namun, peningkatan produksi itu tidak disertai dengan manajemen garam yang tepat sehingga produksi tidak terserap secara optimal.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengatakan, pemerintah perlu turun tangan untuk berupaya melakukan penyerapan garam dari para petambak. Rendahnya harga harga garam patut menjadi evaluasi pemerintah dalam mengatur siklus produksi garam di dalam negeri.
“Tahun ini musim kemarau. Sudah jelas ketika kemarau produksi garam akan meningkat drastis. Sudah hukumnya ketika produksi berlebih harga akan jatuh,” kata Andreas kepada Republika.co.id, Jumat (5/7).
Selain produksi yang diyakini meningkat, besarnya volume impor garam tahun lalu yang mencapai 3,7 juta ton membuat keberadaan stok impor tersebut menganggu penyerapan produksi lokal hingga saat ini. Oleh karena itu, rendahnya harga garam yang terjadi juga merupakan imbas dari tata kelola manajemen stok garam di tahun 2018.
Di saat yang bersamaan, lanjut Andreas, kualitas garam yang diproduksi petambak belum sepenuhnya memenuhi standar yang diinginkan oleh industri. Salah satunya kadar Natrium Klorida (NaCl) yang masih berada di bawah 94 persen. Sementara industri rata-rata mensyarakatkan kadar minimal NaCl minimal 96 persen.
Andreas mengatakan, sektor pergaraman mesti melakukan modernisasi dalam budidaya garam untuk dapat meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas itu, kata Andreas dapat menjadi strategi jangka panjang yang harus dilakukan Kementerian Kelauran dan Perikanan (KKP) secara terukur.
“Ini perlu investasi karena berkaitan dengan teknologi. Pemerintah juga harus melatih petambak dengan benar agar bisa meningkatkan kualitas garam. Sekaligus diberikan bantuan modal usaha,” kata Andreas.
Pakar Perikanan dan Kelautan IPB, Nimmi Zulbarnaini, menambahkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) wajib untuk memperketat pengawasan impor garam industri. Ia menyebut, ada potensi kebocoran garam industri ke pasar dan menjadi garam konsumsi jika pengawasan lemah. Hal itu sudah pasti bakal membuat ceruk pasar bagi garam lokal untuk konsumsi masyarakat kalah saing. “Ada dugaan garam impor bocor. Itu harus diawasi supaya garam lokal tidak tergerus pasarnya,” kata dia.
Senada dengan Andreas, Nimmi mengatakan, pada kenyataan di lapangan kualitas garam lokal memang masih rendah. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, selain kadar NaCl, kandungan air garam lokal masih lebih tinggi dibanding garam impor. Hal itu wajar terjadi karena mayoritas petambang masih mengandalkan sinar matahari.
Sementara industri tidak dapat menggunakan garam yang kadar airnya tinggi sebab akan larut dengan cepat ketika tengah di simpan di gudang. Ia mengatakan, sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) garam yang larut dalam air maksimal 0,5 persen. Sedangkan realita garam milik petambak, sekitar 0,1-0,2 yang terlarut dalam air.
“Memang ketika kami mengecek langsung ke lapangan, garam lokal belum sesuai kebutuhan industri. Sampai kapanpun ini tidak ketemu kalau tidak ada perbaikan kualitas,” kata dia.
Sumber: https://republika.co.id/berita/pu656v370/pakar-perbaiki-tata-kelola-garam