Aliou Cisse dan Djamel Belmadi sama-sama sukses sebagai pelatih.
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO — Mereka lahir berselisih satu hari, dibesarkan di kota yang sama, dan menikmati karier bermain yang megah. Tetapi walaupun kedua orang bernama Aliou Cisse dan Djamel Belmadi ini sama-sama sukses sebagai pelatih, hanya satu di antara mereka yang akan bernasib baik mengangkat trofi Piala Afrika atau Africa Cup of Nations 2019 di Kairo, Sabtu (20/7) dini hari WIB lusa.
Cisse lahir pada 24 Maret 1976 di Senegal, sedangkan rekannya dari Aljazair itu tiba ke dunia sehari kemudian di Champigny-sur-Marne. Di sudut kota Paris ini pula, di mana Cisse pindah ke sana pada usia sembilan tahun, nasib kedua orang ini dibentuk.
“Dia kenalan lama. Saya katakan itu dengan kecintaan besar,” kata Belmadi yang masuk kancah sepak bola profesional di Paris Saint-Germain (PSG), sedangkan Cisse mengawalinya bersama Lille. Walaupun tidak pernah bermain dalam satu tim, mereka menghormati lapangan yang sama di Prancis selama hampir satu dekade.
Duo ini hampir 180 kali tampil bermain pada Ligue 1 di enam klub berbeda, tetapi di Afrika-lah warisan mereka menemukan dimensi yang lebih besar.
Cisse, kapten Senegal yang kalah pada final edisi 2002, bernasib lebih baik dibandingkan Aljazair yang diasuh Belmadi pada babak kualifikasi Piala Afrika tahun itu, tetapi Aljazair membalasnya di Kairo tahun ini dengan menang 1-0 pada fase grup yang mengawali perjalanan ke final Sabtu dini hari WIB lusa.
Pertemuan mereka adalah pertemuan dua pelatih lokal pertama pada sebuah final Piala Afrika dalam 21 tahun terakhir sejak Mesir di bawah Mahmoud El Gohary mengalahkan Afrika Selatan asuhan Jomo Sono dengan 2-0 di Ouagadougou.
“Menjadi jauh lebih rumit ketika Anda lokal ketimbang saat Anda ekspatriat. Saatnya kami (orang Afrika) percaya kepada diri sendiri, kepada anak-anak kami, kepada pelatih-pelatih kami. Sedikit demi sedikit tatanan berubah,” kata Cisse seperti dikutip AFP.
Cisse dengan hati-hati mengkonstruksikan tim Senegal-nya sejak mengambil alih kursi kepelatihan pada 2015, dengan melewati kemajuan terus-menerus, termasuk tampil pada Piala Dunia 2018 setelah 16 tahun absen, dan kini mencapai final Piala Afrika kedua.
Seperti halnya Belmadi, ditunjuk tahun lalu, Cisse mewarisi tim yang babak belur, yang diganggu oleh kebijakan keluar masuk yang membuat lima pelatih masuk dan hengkang cuma dalam dua tahun. Sekarang mungkin Senegal berada di jalur yang sama, 90 menit dari takhta benua, tetapi rute untuk mencapai titik ini sangat berbeda satu sama lain. Didorong oleh hasrat menebus derita kalah pada final 2002, Cisse didapuk menjadi pelatih Senegal yang merupakan satu-satunya pengalaman manajerialnya.
Belmadi, di sisi lainnya, harus menghabiskan delapan tahun di Qatar, termasuk bersama tim nasional negara ini pada 2014-2015, sebelum mendarat bersama Serigala Padang Pasir. “Memainkan final ini melawan sahabat saya, adalah menakjubkan. Saya kira ini pesan besar yang kami kirimkan kepada para pejabat sepak bola di Afrika,” sambung dia.
Belmadi menyebut kualitas Cisse sebagai pelatih sama bagusnya dengan kualitas dia sebagai pemain. “Dia orang yang sangat disiplin. Meskipun kurang pengalaman melatih, dia cepat menelurkan hasil dan konsisten bekerja, yang memang berasal dari kariernya yang cemerlang,” kata Belmadi.
Aljazair mempesona karena gaya bermainnya selama di Mesir, sedangkan Senegal terlihat lebih tangguh dalam bertahan. Sayang, hanya satu negara yang boleh mencapai tujuannya Sabtu dini hari nanti.
Sumber: https://bola.republika.co.id/berita/puu689438/laga-sahabat-lama-di-final-piala-afrika-2019